01.
Maharsi Wisrawa
berkali-kali mengernyitkan dahinya, Brahmana itu merasakan ada keanehan yang
menyelimuti wajah dan sikap puteranya yang kini sudah menjadi Raja,
menggantikan kedudukannya di Negeri Lokapala itu. Semenjak dia datang mengunjungi
si anak tunggal yang sudah menginjak dewasa itu, sikap dan sambutan yang
diterimanya terasa amat dingin, cenderung kaku. Tidak seperti biasanya, Danaraja
yang biasanya berwajah ceria, penuh senyum dan sangat ramah pada siapapun itu, tampak
bermuram durja, bibirnya terkatup rapat, dan ketika diajak bicara hanya
menjawab satu dua patah kata saja, itupun terdengar seperti dipaksakan ketika
mengucapkannya. Sebagai orang tua, Wisrawa merasakan timbul rasa khawatir di
hatinya, khawatir kalua telah terjadi apa-apa pada anak tunggalnya, khawatir kalau
perubahan pada Danaraja itu sampai mempengaruhi kinerjanya sebagai raja
sehingga perhatian terhadap rakyatnya menjadi berkurang bahkan hilang, yang bisa
mengakibatkan kehidupan rakyat di negeri Lokapala yang selama ini sudah hidup
dalam keadaan aman tenteram dan tercukupi sandang pangan dan papannya berubah
menjadi kurang baik. Tidak ingin anaknya
dan negeri Lokapala jatuh dalam penderitaan, Wisrawa segera bertindak, ingin
mengembalikan keadaan anaknya kepada kebiasaan yang baik.
“Anakku” Wisrawa mencoba
mengajak anaknya berbicara “apa yang telah terjadi sehingga ayah rasakan ada
perubahan dalam dirimu? Apa yang telah membuatmu gundah gulana? Apakah dirimu
menerima tantangan perang dari negara lain yang ingin menaklukkan dan menjajah
negara Lokapala? Atau mungkin ada punggawa negeri yang mau mbalela dan ingin
merebut kekuasaan dari tanganmu? Ataukah ada sentana yang sulit diatur dan menyusun
kekuatan untuk membuat pemerintahan tandingan?. Katakan kepada Ayah, meski ayah sudah menjadi
Pendeta namun Ayah tetap tak akan tinggal diam apabila negeri ini mendapat
ancaman dan dalam keadaan bahaya. Katakanlah anakku, janganlah dirimu ragu”.
“Ampun Ayahanda” setelah
berkali-kali menghela napas panjang Danaraja menjawab perkataan Wisrawa,
ayahnya “janganlah Ayahanda khawatir, karena yang Ayahanda katakana itu semua
tidak pernah ada. Negara tetangga mustahil berani memusihi negeri kita, mereka
sudah faham dengan kekuatan Angkatan perang Lokapala yang boleh disebut
menduduki tempat teratas disbanding dengan negara-negara tetangga, maka seluruh
raja di negara tetangga justru ingin tetap menjadikan kita sebagai mitra yang
selalu siap untuk memberikan bantuan apabila negara mereka terancam. Punggawa
dan sentana di Lokapalapun semuanya tidak ada yang merasa kecewa pada Ananda sebagai
raja mereka, karena mereka tahu dan sadar bahwa meski kedudukan Ananda adalah
raja namun tugas dan kewajiban Ananda sama seperti mereka juga, yakni mewujudkan
rakyat dan negara Lokapala menjadi negeri yang aman tenteram dalam kemakmuran”.
“Sokurlah kalau memang
begitu Anakku” sahut Wisrawa sambil tersenyum, ada sedikit rasa bangga di hatinya,
didikan yang diberikan kepada anaknya telah dijalankan dengan baik dan benar “namun,
sebagai orang tua Ayah tahu kalau saat ini hatimu lagi gundah gulana, dan itu
sangat tidak baik kalau tidak segera diatasi, bisa mengganggu kinerjamu dalam
menjalankan tugas pengabdian kepada negara dan rakyat Lokapala. Sekarang katakana
pada Ayah, apa yang telah membuat hatimu gundah ? apa yang telah membuat jiwamu seolah resah?”.
“Sebenarnya agak malu
rasanya hati ini untuk berterus terang Ayahanda” sambil tersenyum kecut
Danaraja menjawab pertanyaan Wisrawa “karena ini urusan yang sangat pribadi Ananda,
Ananda ingin menikahi seorang gadis, namun Ananda ragu apakah cinta Ananda bisa
diterima oleh gadis itu? Karena gadis itu puteri dari seorang Raja di sebuah
negara yang teramat besar, negara yang kaya dan kuat yang didukung oleh laksaan
bahkan kethian prajurit yang memiliki kesaktian luar biasa. Meskipun Ananda tak
akan gentar seandainya harus berhadapan sebagai lawan dengan raja dan prajurit
negara itu, namun Ananda tidak ingin membawa rakyat dan prajurit Lokapala ke
medan perang hanya karena keinginan pribadi Ananda sendiri, maka sebenarnya
kegundahan Ananda ini hanyalah karena memikirkan cara apa yang harus Ananda tempuh
agar bisa menikahi gadis itu tanpa melalui cara-cara kekerasan yang bisa
menyengsarakan rakyat di kedua negara”.
Wisrawa mengangguk-anggukkan
kepalanya, jawaban dari Danaraja itu menunjukkan kemuliaan hati seorang raja
sekaligus menunjukkan kepengecutan jiwa anaknya yang dihinggapi rasa ragu yang
berlebihan. Kemuliaan hati Danaraja terbukti, dia tidak ingin melibatkan rakyat
dan prajuritnya untuk mengejar keinginan pribadinya, sementara itu Danaraja
yang merupakan seorang pemuda berwajah
tampan dan berkedudukan tinggi namun memiliki hati yang kecil, sehingga
meragukan kelebihan yang ada padanya sehingga masih merasa sungkan untuk melamar
seorang gadis, meskipun gadis itu putera raja juga.
“Anakku” akhirnya
Wisrawa berkata dengan nada lembut “dirimu itu dianugerahi Dewa wajah yang
tampan, tubuh yang bagus, kekayaan yang cukup dan kedudukan yang mulia sebagai
raja. Menurut nalar yang wajar, tentu banyak gadis yang akan merasa tersanjung
apabila kau kehendaki menjadi istrimu, namun ternyata engkau masih ragu dan ada
rasa cemas kalau sampai lamaranmu ditolak oleh gadis pujaan hatimu itu,
sekarang Ayah perlu tahu siapakah nama gadis itu? Siapa pula ayahnya yang
katamu tadi seorang raja di negara besar yang memiliki berkethi-kethi prajurit
yang sakti itu?”.
“Benar Ayahanda” sahur
Danaraja dengan hormatnya “gadis yang Ananda cintai itu bukan gadis yang
sembarangan, sudah puluhan raja yang datang melamar namun pulang dengan tangan
hampa, karena ditolak. Bahkan tidak sedikit raja-raja yang pulang ke negaranya
hanya tinggal nama, karena mencoba menggunakan kekerasan untuk memaksakan
kehendaknya yang akhirnya terbunuh oleh senapati negeri tempat gadis itu
berada. Dia lah Dewi Sukesi, puteri negeri Alengka putera Prabu Sumali Raja besar
yang berwajah raksasa, namun puterinya memiliki kecantikan yang melebihi bidadari
di Kahyangan Suralaya”.
Tiba-tiba Wisrawa
tertawa ceria, didekatinya anak tunggaknya itu lalu ditepuk-tepuk pundaknya
dengan penuh kasih saying.
“Dirimu benar anakku”
kata Wisrawa disela-sela ketawanya “Negara Alengka atau negara Langka memang
negara yang besar dan kuat, Angkatan perangnya sangat disegani oleh negara
manapun, bahkan dahulu pernah terjadi kekuatan pasukan negara itu hamper saja
menggoyahkan kewibawaan Kahyangan Sang Hyang Indra yakni waktu negeri Langka
dipimpin Prabu Banjaranjali, kakek Prabu Sumali yang sekarang berkuasa…….”.
“Sedemikian hebatnya
Ayahanda?” Danaraja memotong perkataan Wisrawa “prajurit Langka berani melawan para
Jawata? Apakah mereka itu keturunan Iblis sehingga berani melawan Dewa?”.
“Mereka itu sebenarnya
juga keturunan Dewa anakku, yakni keturunan Sang Hyang Bathara Sambo, namun
karena setelah diturinkan di Marcapada banyak kena pengaruh pemikiran bangsa
raksasa akhirnya mereka menjadi liar. Namun, justeru karena gadis yang kau
dambakan itu Dewi Sukesi putera Prabu Sumali, maka Ayahmu menjadi senang
mendengarnya. Ibaratnya sulit meraih buah ranti daripada menjadikan Sukesi sebagai
istrimu anakku” Kata Wisrawa sambil tersenyum senang.
“Apa maksudnya dengan
kalimat yang Ayahanda sampaikan itu?” Danaraja bertanya heran, ayahnya begitu
mudah mengatakan bahwa untuk menjadikan Sukesi menjadi istrinya.
“Maksudnya, keinginanmu
akan segera terlaksana” jawab Wisrawa sambil terus tersenyum “sekarang
bergembiralah, ayah mau dating ke Negeri Langka, menemui Prabu Sumali meminta
persetujuannya membawa pulang Dewi Sukesi untuk menjadi istrimu”.
Danaraja memandang wajah
ayahnya dalam-dalam, sulit rasanya mempercayai omongan ayahnya yang sudah
menjadi Pendheta dan selamanya tak pernah bicara dusta itu.
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar