Total Tayangan Halaman

Selasa, 27 September 2022

SASTRA JENDRA YUNINGRAT PANGRUWATING DIYU (001)



 01.

Maharsi Wisrawa berkali-kali mengernyitkan dahinya, Brahmana itu merasakan ada keanehan yang menyelimuti wajah dan sikap puteranya yang kini sudah menjadi Raja, menggantikan kedudukannya di Negeri Lokapala itu. Semenjak dia datang mengunjungi si anak tunggal yang sudah menginjak dewasa itu, sikap dan sambutan yang diterimanya terasa amat dingin, cenderung kaku. Tidak seperti biasanya, Danaraja yang biasanya berwajah ceria, penuh senyum dan sangat ramah pada siapapun itu, tampak bermuram durja, bibirnya terkatup rapat, dan ketika diajak bicara hanya menjawab satu dua patah kata saja, itupun terdengar seperti dipaksakan ketika mengucapkannya. Sebagai orang tua, Wisrawa merasakan timbul rasa khawatir di hatinya, khawatir kalua telah terjadi apa-apa pada anak tunggalnya, khawatir kalau perubahan pada Danaraja itu sampai mempengaruhi kinerjanya sebagai raja sehingga perhatian terhadap rakyatnya menjadi berkurang bahkan hilang, yang bisa mengakibatkan kehidupan rakyat di negeri Lokapala yang selama ini sudah hidup dalam keadaan aman tenteram dan tercukupi sandang pangan dan papannya berubah menjadi kurang baik.  Tidak ingin anaknya dan negeri Lokapala jatuh dalam penderitaan, Wisrawa segera bertindak, ingin mengembalikan keadaan anaknya kepada kebiasaan yang baik.

 

“Anakku” Wisrawa mencoba mengajak anaknya berbicara “apa yang telah terjadi sehingga ayah rasakan ada perubahan dalam dirimu? Apa yang telah membuatmu gundah gulana? Apakah dirimu menerima tantangan perang dari negara lain yang ingin menaklukkan dan menjajah negara Lokapala? Atau mungkin ada punggawa negeri yang mau mbalela dan ingin merebut kekuasaan dari tanganmu? Ataukah ada sentana yang sulit diatur dan menyusun kekuatan untuk membuat pemerintahan tandingan?.  Katakan kepada Ayah, meski ayah sudah menjadi Pendeta namun Ayah tetap tak akan tinggal diam apabila negeri ini mendapat ancaman dan dalam keadaan bahaya. Katakanlah anakku, janganlah dirimu ragu”.

 

“Ampun Ayahanda” setelah berkali-kali menghela napas panjang Danaraja menjawab perkataan Wisrawa, ayahnya “janganlah Ayahanda khawatir, karena yang Ayahanda katakana itu semua tidak pernah ada. Negara tetangga mustahil berani memusihi negeri kita, mereka sudah faham dengan kekuatan Angkatan perang Lokapala yang boleh disebut menduduki tempat teratas disbanding dengan negara-negara tetangga, maka seluruh raja di negara tetangga justru ingin tetap menjadikan kita sebagai mitra yang selalu siap untuk memberikan bantuan apabila negara mereka terancam. Punggawa dan sentana di Lokapalapun semuanya tidak ada yang merasa kecewa pada Ananda sebagai raja mereka, karena mereka tahu dan sadar bahwa meski kedudukan Ananda adalah raja namun tugas dan kewajiban Ananda sama seperti mereka juga, yakni mewujudkan rakyat dan negara Lokapala menjadi negeri yang aman tenteram dalam kemakmuran”.

 

“Sokurlah kalau memang begitu Anakku” sahut Wisrawa sambil tersenyum, ada sedikit rasa bangga di hatinya, didikan yang diberikan kepada anaknya telah dijalankan dengan baik dan benar “namun, sebagai orang tua Ayah tahu kalau saat ini hatimu lagi gundah gulana, dan itu sangat tidak baik kalau tidak segera diatasi, bisa mengganggu kinerjamu dalam menjalankan tugas pengabdian kepada negara dan rakyat Lokapala. Sekarang katakana pada Ayah, apa yang telah membuat hatimu gundah ? apa yang telah membuat  jiwamu seolah resah?”.

 

“Sebenarnya agak malu rasanya hati ini untuk berterus terang Ayahanda” sambil tersenyum kecut Danaraja menjawab pertanyaan Wisrawa “karena ini urusan yang sangat pribadi Ananda, Ananda ingin menikahi seorang gadis, namun Ananda ragu apakah cinta Ananda bisa diterima oleh gadis itu? Karena gadis itu puteri dari seorang Raja di sebuah negara yang teramat besar, negara yang kaya dan kuat yang didukung oleh laksaan bahkan kethian prajurit yang memiliki kesaktian luar biasa. Meskipun Ananda tak akan gentar seandainya harus berhadapan sebagai lawan dengan raja dan prajurit negara itu, namun Ananda tidak ingin membawa rakyat dan prajurit Lokapala ke medan perang hanya karena keinginan pribadi Ananda sendiri, maka sebenarnya kegundahan Ananda ini hanyalah karena memikirkan cara apa yang harus Ananda tempuh agar bisa menikahi gadis itu tanpa melalui cara-cara kekerasan yang bisa menyengsarakan rakyat di kedua negara”.

 

Wisrawa mengangguk-anggukkan kepalanya, jawaban dari Danaraja itu menunjukkan kemuliaan hati seorang raja sekaligus menunjukkan kepengecutan jiwa anaknya yang dihinggapi rasa ragu yang berlebihan. Kemuliaan hati Danaraja terbukti, dia tidak ingin melibatkan rakyat dan prajuritnya untuk mengejar keinginan pribadinya, sementara itu Danaraja yang merupakan  seorang pemuda berwajah tampan dan berkedudukan tinggi namun memiliki hati yang kecil, sehingga meragukan kelebihan yang ada padanya sehingga masih merasa sungkan untuk melamar seorang gadis, meskipun gadis itu putera raja juga.

 

“Anakku” akhirnya Wisrawa berkata dengan nada lembut “dirimu itu dianugerahi Dewa wajah yang tampan, tubuh yang bagus, kekayaan yang cukup dan kedudukan yang mulia sebagai raja. Menurut nalar yang wajar, tentu banyak gadis yang akan merasa tersanjung apabila kau kehendaki menjadi istrimu, namun ternyata engkau masih ragu dan ada rasa cemas kalau sampai lamaranmu ditolak oleh gadis pujaan hatimu itu, sekarang Ayah perlu tahu siapakah nama gadis itu? Siapa pula ayahnya yang katamu tadi seorang raja di negara besar yang memiliki berkethi-kethi prajurit yang sakti itu?”.

 

“Benar Ayahanda” sahur Danaraja dengan hormatnya “gadis yang Ananda cintai itu bukan gadis yang sembarangan, sudah puluhan raja yang datang melamar namun pulang dengan tangan hampa, karena ditolak. Bahkan tidak sedikit raja-raja yang pulang ke negaranya hanya tinggal nama, karena mencoba menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya yang akhirnya terbunuh oleh senapati negeri tempat gadis itu berada. Dia lah Dewi Sukesi, puteri negeri Alengka putera Prabu Sumali Raja besar yang berwajah raksasa, namun puterinya memiliki kecantikan yang melebihi bidadari di Kahyangan Suralaya”.

 

Tiba-tiba Wisrawa tertawa ceria, didekatinya anak tunggaknya itu lalu ditepuk-tepuk pundaknya dengan penuh kasih saying.

 

“Dirimu benar anakku” kata Wisrawa disela-sela ketawanya “Negara Alengka atau negara Langka memang negara yang besar dan kuat, Angkatan perangnya sangat disegani oleh negara manapun, bahkan dahulu pernah terjadi kekuatan pasukan negara itu hamper saja menggoyahkan kewibawaan Kahyangan Sang Hyang Indra yakni waktu negeri Langka dipimpin Prabu Banjaranjali, kakek Prabu Sumali yang sekarang berkuasa…….”.

 

“Sedemikian hebatnya Ayahanda?” Danaraja memotong perkataan Wisrawa “prajurit Langka berani melawan para Jawata? Apakah mereka itu keturunan Iblis sehingga berani melawan Dewa?”.

 

“Mereka itu sebenarnya juga keturunan Dewa anakku, yakni keturunan Sang Hyang Bathara Sambo, namun karena setelah diturinkan di Marcapada banyak kena pengaruh pemikiran bangsa raksasa akhirnya mereka menjadi liar. Namun, justeru karena gadis yang kau dambakan itu Dewi Sukesi putera Prabu Sumali, maka Ayahmu menjadi senang mendengarnya. Ibaratnya sulit meraih buah ranti daripada menjadikan Sukesi sebagai istrimu anakku” Kata Wisrawa sambil tersenyum senang.

 

“Apa maksudnya dengan kalimat yang Ayahanda sampaikan itu?” Danaraja bertanya heran, ayahnya begitu mudah mengatakan bahwa untuk menjadikan Sukesi menjadi istrinya.

 

“Maksudnya, keinginanmu akan segera terlaksana” jawab Wisrawa sambil terus tersenyum “sekarang bergembiralah, ayah mau dating ke Negeri Langka, menemui Prabu Sumali meminta persetujuannya membawa pulang Dewi Sukesi untuk menjadi istrimu”.

 

Danaraja memandang wajah ayahnya dalam-dalam, sulit rasanya mempercayai omongan ayahnya yang sudah menjadi Pendheta dan selamanya tak pernah bicara dusta itu.

 

 

bersambung

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SENDHANG MUSTIKANING WARIH 8. (52)

  52.         Tiyang-tiyang ingkang wonten ing Pringgitan sampun boten kaget malih mireng wicantenipun Bebau Sumber makaten menika. Sadaya s...