02.
Resi
Wisrawa tersenyum melihat sikap anak lelakinya yang sinar matanya memancarkan sinar
keraguan atas perkataan yang baru saja disampaikan itu. Sambil Kembali duduk di
kursinya, Pendeta yang berwajah sangat tampan itu berkata :
“Ketahuilah
anakku, sesungguhnya Prabu Sumali Raja Raksasa yang teramat sakti yang sekarang
menduduki singgasana di negeri Langka itu adalah sahabat ayah, Tidak sekedar
sahabat tetapi sudah melebihi saudara sendiri, dia sering minta saran dan pendapat
ayah untuk menjalankan roda pemerintahan di negaranya, dia juga sangat sering minta
nasehat ayah dalam hal kedudukan kawula dengan gusti. Jadi hampir bisa
dipastikan, kalau ayah meminta puterinya untuk dijodohkan dengan anak ayah,
beliau akan dengan senang hati akan mengabulkannya”.
“Oh,
begitukah ceritanya Ayahanda?” sahut Danaraja dengan tersenyum, hatinya mulai
tenang, gundah gulana di hatinya mulai menyisih “sungguh Ananda hanya bisa
berterima kasih pada Ayahanda bila Ayahanda berkenan melamar Dewi Sukesi untuk
Ananda”.
“Tidak
usah dirimu berterima kasih puteraku” jawab Resi Wisrawa sambil tersenyum bahagia
“sudah menjadi kewajiban seorang ayah untuk mencarikan jodoh untuk anaknya, dan
ayah juga merasa sangat senang ketika dirimu menjatuhkan pilihan pada Dewi
Sukesi untuk mendampingi hidupmu”.
“Baiklah
Ayahanda” kata Danaraja selanjutnya “untuk mengawal perjalanan Ayahanda ke
Langka, akan Ananda perintahkan prajurit-prajurit pilihan serta untuk hadiah
kepada Prabu Sumali akan Ananda persiapkan intan permata secukupnya untuk
Ayahanda bawa”.
“Tidak
perlu anakku” jawab Wisrawa “Ayah masih mampu menjaga diri, Adapun hadiah untuk
Raja Langka itu, sebaiknya kau simpan dulu, baru nanti bila saatnya tiba kau
serahkan sendiri hadiah itu. Hubungan antara ayah dengan Prabu Sumali itu sudah
sangat akrabnya, sehingga basa-basi semacam itu sudah tidak terlalu dibutuhkan
lagi. Sekarang, ayah minta gembirakanlah hatimu agar dirimu lebih baik lagi
dalam menjalankan tugasmu sebagai raja untuk melayani negara dan rakyat di
Lokapala ini. Ayah hari ini juga akan berangkat ke negeri Langka menemui calon
mertuamu, Prabu Sumali”.
Danaraja
mengantarkan keberangkatan ayahnya sampai gapura depan istananya. Para prajurit
yang sedang berjaga ikut melihat perubahan sikap raja mereka yang beberapa hari
ini tampak dingin dan kaku, hari itu berubah menjadi berseri-seri. Para
prajurit itu mengira, kedatangan Resi Wisrawa yang dulu pernah menjadi Raja di
negara itu, telah berhasil memberikan pencerahan kepada puteranya yang
diamanati untuk melanjutkan memegang pemerintahan di negara Lokapala itu.
Perjalanan
Resi Wisrawa ke Langka hanya sendirian, dengan mengendarai seekor kuda, Pendeta
itu berangkat ke Langka, yang jaraknya boleh dibilang cukup jauh juga. Melewati
berbagai rintangan, menyeberangi beberapa kali, kadang mesti mendaki karena jalan
ke arah Langka harus melewati gunung dan perbukitan, menuruni lembah dan
jurang, juga menyusup ke dalam rimbunnya hutan belantara yang liar. Dan itu
berlangsung beberapa hari.
Ketika
perjalanan Wisrawa sudah lebih dari separuh perjalanan, di sebuah padang
berperduan, tiba-tiba Pendeta itu dikejutkan dengan suara gemuruh, suara
iring-iringan prajurit sagelar sepapan yang berasal dari arah yang lain, namun
tampaknya bertujuan ke arah yang sama dengan yang dituju Wisrawa. Sebagai
seorang yang berjalan sendirian, Wisrawa memilih menghentikan lari kudanya, untuk memberikan jalan kepada iring-iringan
prajurit sagelar sepapan yang lengkap dengan segala macam bendera dan tanda
kebesaran negaranya itu, Wisrawa menepi ke pinggir jalan, sambil matanya
mengawasi iring-iringan prajurit yang semakin dekat berjalan ke arahya. Dalam
hati Wusrawa bertanya-tanya, ma uke manakah rombongan prajurit itu dan dari
negara mana mereka berasal? Namun, karena Wisrawa ingat dengan niat semula
bahwa dia mengemban tugas untuk melamarkan anaknya, pertanyaan dalam hatinya
itu sengaja disisihkan dulu, karena di samping asal dan tujuan rombongan
prajurit itu bukan urusannya, dia juga tidak ingin pertanyaan-pertanyaan dalam
hatinya itu mengganggu tujuan untuk menikahkan anaknya dengan puteri di negeri
Langka itu. Maka Wisrawa telah berniat untuk mendiamkan saja rombongan itu
lewat dan kalau perlu dia akan mencari jalan lain yang menuju Langka jika
ditengarai rombongan itu bisa memperlambat perjalanannya.
Namun
Wisrawa menjadi agak terkejut dan merasa heran, tiba-tiba rombongan prajurit sagelar sepapan
itu mendadak berhenti. Jarak antara tempat Wisrawa berhenti dengan rombongan
prajurit itu kira-kira dua puluh langkah. Dari sebuah kereta kencana yang
ditarik oleh delapan ekor kuda, seorang yang mengenakan busana layaknya seorang
raja turun. Tanpa diikuti seorang pengawalpun, raja yang baru keluar dari
kereta kencana itu berjalan sambil terbungkuk-bungkuk mendekati Wisrawa yang
masih duduk di punggung kudanya.
“Hamba
menghaturkan sembah Pukulun” ketika kira-kira jarak antara Resi Wisrawa dengan
raja yang baru turun dari kereta itu sepuluh langkah, raja itu menjatuhkan diri
berlutut sambil menyembah kepada Wisrawa.
Tentu
saja Wusrawa menjadi terkejut dan terheran-heran dibuatnya. Wisrawa sama sekali
belum mengenal raja itu dan tentu saja Wisrawa juga tidak tahu apa maksud dari
raja itu sehingga menghaturkan sembah padanya, seperti seorang punggawa yang
sedang menghadap di depan rajanya.
“Maaf
Sang Prabu” sahut Wisrawa menanggapi orang yang menyembahnya itu “kusebut ndika
itu Sang Prabu, karena menilik busana yang ndika kenakan, ndika itu adalah
seorang raja. Dari negeri manakah dan siapa sebutan Sang Prabu ini?”.
“Ampun
Pukulun meski hamba tahu bahwa pertanyaan pukulun ini tak ubahnya seperti
cangkriman, namun hamba sungguh dengan senang hati akan menjawab cangkriman
paduka” raja itu menjawab sambil menyembah “hamba ini Gardapati, pemimpin
kerajaan Gardapura yang berupa kumpulan pulau-pulau kecil di seberang laut
utara itu, sekali lagi perkenankanlah hamba mengahaturkan sembah pada Pukulun.
Hamba sungguh merasa beruntung, setelah melihat sinar teja yang memancar dari tubuh
Pukulun, hamba tahu Pukulun adalah Dewa dari Kahyangan yang turun ke bumi”.
“Anda
keliru Sang Prabu” jawab Wisrawa setelah dia tahu kalau raja yang ternyata
bernama Gardapati itu telah salah sangka padanya, mengira kalau dia adalah Dewa
dari Kahyangan “aku tidak seperti yang Anda sangka. Aku hanyalah titah wantah, manusia biasa, namaku Wisrawa seorang petapa
di Girijembangan. Jadi silakan Sang Prabu berdiri dan jangan bersikap seperti
itu padauk, karena aku sungguh bukan Dewa seperti yang Anda sangka”.
Prabu
Gardapati menengadahkan wajahnya, memandang ke arah Resi Wisrawa, diamatinya
wajah Brahmana yang teramat tampan itu dengan sungguh-sungguh.
“Jadi
benar Anda bukan seorang Dewa Sang Resi?” dengan agak ragu Prabu Gardapati
bertanya “sungguh tak menyangka di dunia ini ada manusia yang memancarkan
cahaya yang teramat indah dan penuh wibawa, seperti Anda ini. Maka meskipun
Anda mengatakan bahwa Anda hanyalah titah sawantah, namun aku berkeyakinan
kalau Anda adalah titisan Dewa Yang Mulia, maka tolonglah diriku ini wahai Sang
Resi Wisrawa, berkatilah diri ini agar kepergianku dari Gardapura tidak sia-sia
dan kelak kepulanganku bisa membawa hasil yang gemilang seperti yang aku
harapkan”.
Wisrawa
mengernyitkan dahinya, dia belum mengerti maksud dari perkataan Prabu Gardapati
yang minta agar diberkati agar berhasil apa yang diharapkan itu.
“Apa
yang Anda maksudkan Sang Prabu?” akhirnya Wisrawa bertanya “Anda telah keluar
meninggalkan negara Anda di Gardapura, Anda hendak pergi ke mana? Dan apa yang Anda
cari dalam perjalanan Anda sampai menyeberangi laut ini?”.
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar