Total Tayangan Halaman

Rabu, 28 September 2022

SASTRA JENDRA YUNINGRAT PANGRUWATING DIYU (002)


02.

Resi Wisrawa tersenyum melihat sikap anak lelakinya yang sinar matanya memancarkan sinar keraguan atas perkataan yang baru saja disampaikan itu. Sambil Kembali duduk di kursinya, Pendeta yang berwajah sangat tampan itu berkata :

 

“Ketahuilah anakku, sesungguhnya Prabu Sumali Raja Raksasa yang teramat sakti yang sekarang menduduki singgasana di negeri Langka itu adalah sahabat ayah, Tidak sekedar sahabat tetapi sudah melebihi saudara sendiri, dia sering minta saran dan pendapat ayah untuk menjalankan roda pemerintahan di negaranya, dia juga sangat sering minta nasehat ayah dalam hal kedudukan kawula dengan gusti. Jadi hampir bisa dipastikan, kalau ayah meminta puterinya untuk dijodohkan dengan anak ayah, beliau akan dengan senang hati akan mengabulkannya”.

 

“Oh, begitukah ceritanya Ayahanda?” sahut Danaraja dengan tersenyum, hatinya mulai tenang, gundah gulana di hatinya mulai menyisih “sungguh Ananda hanya bisa berterima kasih pada Ayahanda bila Ayahanda berkenan melamar Dewi Sukesi untuk Ananda”.

 

“Tidak usah dirimu berterima kasih puteraku” jawab Resi Wisrawa sambil tersenyum bahagia “sudah menjadi kewajiban seorang ayah untuk mencarikan jodoh untuk anaknya, dan ayah juga merasa sangat senang ketika dirimu menjatuhkan pilihan pada Dewi Sukesi untuk mendampingi hidupmu”.

 

“Baiklah Ayahanda” kata Danaraja selanjutnya “untuk mengawal perjalanan Ayahanda ke Langka, akan Ananda perintahkan prajurit-prajurit pilihan serta untuk hadiah kepada Prabu Sumali akan Ananda persiapkan intan permata secukupnya untuk Ayahanda bawa”.

 

“Tidak perlu anakku” jawab Wisrawa “Ayah masih mampu menjaga diri, Adapun hadiah untuk Raja Langka itu, sebaiknya kau simpan dulu, baru nanti bila saatnya tiba kau serahkan sendiri hadiah itu. Hubungan antara ayah dengan Prabu Sumali itu sudah sangat akrabnya, sehingga basa-basi semacam itu sudah tidak terlalu dibutuhkan lagi. Sekarang, ayah minta gembirakanlah hatimu agar dirimu lebih baik lagi dalam menjalankan tugasmu sebagai raja untuk melayani negara dan rakyat di Lokapala ini. Ayah hari ini juga akan berangkat ke negeri Langka menemui calon mertuamu, Prabu Sumali”.

 

Danaraja mengantarkan keberangkatan ayahnya sampai gapura depan istananya. Para prajurit yang sedang berjaga ikut melihat perubahan sikap raja mereka yang beberapa hari ini tampak dingin dan kaku, hari itu berubah menjadi berseri-seri. Para prajurit itu mengira, kedatangan Resi Wisrawa yang dulu pernah menjadi Raja di negara itu, telah berhasil memberikan pencerahan kepada puteranya yang diamanati untuk melanjutkan memegang pemerintahan di negara Lokapala itu.

 

Perjalanan Resi Wisrawa ke Langka hanya sendirian, dengan mengendarai seekor kuda, Pendeta itu berangkat ke Langka, yang jaraknya boleh dibilang cukup jauh juga. Melewati berbagai rintangan, menyeberangi beberapa kali, kadang mesti mendaki karena jalan ke arah Langka harus melewati gunung dan perbukitan, menuruni lembah dan jurang, juga menyusup ke dalam rimbunnya hutan belantara yang liar. Dan itu berlangsung beberapa hari.

 

Ketika perjalanan Wisrawa sudah lebih dari separuh perjalanan, di sebuah padang berperduan, tiba-tiba Pendeta itu dikejutkan dengan suara gemuruh, suara iring-iringan prajurit sagelar sepapan yang berasal dari arah yang lain, namun tampaknya bertujuan ke arah yang sama dengan yang dituju Wisrawa. Sebagai seorang yang berjalan sendirian, Wisrawa memilih menghentikan lari kudanya,  untuk memberikan jalan kepada iring-iringan prajurit sagelar sepapan yang lengkap dengan segala macam bendera dan tanda kebesaran negaranya itu, Wisrawa menepi ke pinggir jalan, sambil matanya mengawasi iring-iringan prajurit yang semakin dekat berjalan ke arahya. Dalam hati Wusrawa bertanya-tanya, ma uke manakah rombongan prajurit itu dan dari negara mana mereka berasal? Namun, karena Wisrawa ingat dengan niat semula bahwa dia mengemban tugas untuk melamarkan anaknya, pertanyaan dalam hatinya itu sengaja disisihkan dulu, karena di samping asal dan tujuan rombongan prajurit itu bukan urusannya, dia juga tidak ingin pertanyaan-pertanyaan dalam hatinya itu mengganggu tujuan untuk menikahkan anaknya dengan puteri di negeri Langka itu. Maka Wisrawa telah berniat untuk mendiamkan saja rombongan itu lewat dan kalau perlu dia akan mencari jalan lain yang menuju Langka jika ditengarai rombongan itu bisa memperlambat perjalanannya.

 

Namun Wisrawa menjadi agak terkejut dan merasa heran,  tiba-tiba rombongan prajurit sagelar sepapan itu mendadak berhenti. Jarak antara tempat Wisrawa berhenti dengan rombongan prajurit itu kira-kira dua puluh langkah. Dari sebuah kereta kencana yang ditarik oleh delapan ekor kuda, seorang yang mengenakan busana layaknya seorang raja turun. Tanpa diikuti seorang pengawalpun, raja yang baru keluar dari kereta kencana itu berjalan sambil terbungkuk-bungkuk mendekati Wisrawa yang masih duduk di punggung kudanya.

“Hamba menghaturkan sembah Pukulun” ketika kira-kira jarak antara Resi Wisrawa dengan raja yang baru turun dari kereta itu sepuluh langkah, raja itu menjatuhkan diri berlutut sambil menyembah kepada Wisrawa.

 

Tentu saja Wusrawa menjadi terkejut dan terheran-heran dibuatnya. Wisrawa sama sekali belum mengenal raja itu dan tentu saja Wisrawa juga tidak tahu apa maksud dari raja itu sehingga menghaturkan sembah padanya, seperti seorang punggawa yang sedang menghadap di depan rajanya.

 

“Maaf Sang Prabu” sahut Wisrawa menanggapi orang yang menyembahnya itu “kusebut ndika itu Sang Prabu, karena menilik busana yang ndika kenakan, ndika itu adalah seorang raja. Dari negeri manakah dan siapa sebutan Sang Prabu ini?”.

 

“Ampun Pukulun meski hamba tahu bahwa pertanyaan pukulun ini tak ubahnya seperti cangkriman, namun hamba sungguh dengan senang hati akan menjawab cangkriman paduka” raja itu menjawab sambil menyembah “hamba ini Gardapati, pemimpin kerajaan Gardapura yang berupa kumpulan pulau-pulau kecil di seberang laut utara itu, sekali lagi perkenankanlah hamba mengahaturkan sembah pada Pukulun. Hamba sungguh merasa beruntung, setelah melihat sinar teja yang memancar dari tubuh Pukulun, hamba tahu Pukulun adalah Dewa dari Kahyangan yang turun ke bumi”.

 

“Anda keliru Sang Prabu” jawab Wisrawa setelah dia tahu kalau raja yang ternyata bernama Gardapati itu telah salah sangka padanya, mengira kalau dia adalah Dewa dari Kahyangan “aku tidak seperti yang Anda sangka. Aku hanyalah titah wantah,  manusia biasa, namaku Wisrawa seorang petapa di Girijembangan. Jadi silakan Sang Prabu berdiri dan jangan bersikap seperti itu padauk, karena aku sungguh bukan Dewa seperti yang Anda sangka”.

 

Prabu Gardapati menengadahkan wajahnya, memandang ke arah Resi Wisrawa, diamatinya wajah Brahmana yang teramat tampan itu dengan sungguh-sungguh.

 

“Jadi benar Anda bukan seorang Dewa Sang Resi?” dengan agak ragu Prabu Gardapati bertanya “sungguh tak menyangka di dunia ini ada manusia yang memancarkan cahaya yang teramat indah dan penuh wibawa, seperti Anda ini. Maka meskipun Anda mengatakan bahwa Anda hanyalah titah sawantah, namun aku berkeyakinan kalau Anda adalah titisan Dewa Yang Mulia, maka tolonglah diriku ini wahai Sang Resi Wisrawa, berkatilah diri ini agar kepergianku dari Gardapura tidak sia-sia dan kelak kepulanganku bisa membawa hasil yang gemilang seperti yang aku harapkan”.

Wisrawa mengernyitkan dahinya, dia belum mengerti maksud dari perkataan Prabu Gardapati yang minta agar diberkati agar berhasil apa yang diharapkan itu.

 

“Apa yang Anda maksudkan Sang Prabu?” akhirnya Wisrawa bertanya “Anda telah keluar meninggalkan negara Anda di Gardapura, Anda hendak pergi ke mana? Dan apa yang Anda cari dalam perjalanan Anda sampai menyeberangi laut ini?”.

 

 

bersambung

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SENDHANG MUSTIKANING WARIH 8. (52)

  52.         Tiyang-tiyang ingkang wonten ing Pringgitan sampun boten kaget malih mireng wicantenipun Bebau Sumber makaten menika. Sadaya s...