Total Tayangan Halaman

Selasa, 27 September 2022

SASTRA JENDRA YUNINGRAT PANGRUWATING DIYU (001)



 01.

Maharsi Wisrawa berkali-kali mengernyitkan dahinya, Brahmana itu merasakan ada keanehan yang menyelimuti wajah dan sikap puteranya yang kini sudah menjadi Raja, menggantikan kedudukannya di Negeri Lokapala itu. Semenjak dia datang mengunjungi si anak tunggal yang sudah menginjak dewasa itu, sikap dan sambutan yang diterimanya terasa amat dingin, cenderung kaku. Tidak seperti biasanya, Danaraja yang biasanya berwajah ceria, penuh senyum dan sangat ramah pada siapapun itu, tampak bermuram durja, bibirnya terkatup rapat, dan ketika diajak bicara hanya menjawab satu dua patah kata saja, itupun terdengar seperti dipaksakan ketika mengucapkannya. Sebagai orang tua, Wisrawa merasakan timbul rasa khawatir di hatinya, khawatir kalua telah terjadi apa-apa pada anak tunggalnya, khawatir kalau perubahan pada Danaraja itu sampai mempengaruhi kinerjanya sebagai raja sehingga perhatian terhadap rakyatnya menjadi berkurang bahkan hilang, yang bisa mengakibatkan kehidupan rakyat di negeri Lokapala yang selama ini sudah hidup dalam keadaan aman tenteram dan tercukupi sandang pangan dan papannya berubah menjadi kurang baik.  Tidak ingin anaknya dan negeri Lokapala jatuh dalam penderitaan, Wisrawa segera bertindak, ingin mengembalikan keadaan anaknya kepada kebiasaan yang baik.

 

“Anakku” Wisrawa mencoba mengajak anaknya berbicara “apa yang telah terjadi sehingga ayah rasakan ada perubahan dalam dirimu? Apa yang telah membuatmu gundah gulana? Apakah dirimu menerima tantangan perang dari negara lain yang ingin menaklukkan dan menjajah negara Lokapala? Atau mungkin ada punggawa negeri yang mau mbalela dan ingin merebut kekuasaan dari tanganmu? Ataukah ada sentana yang sulit diatur dan menyusun kekuatan untuk membuat pemerintahan tandingan?.  Katakan kepada Ayah, meski ayah sudah menjadi Pendeta namun Ayah tetap tak akan tinggal diam apabila negeri ini mendapat ancaman dan dalam keadaan bahaya. Katakanlah anakku, janganlah dirimu ragu”.

 

“Ampun Ayahanda” setelah berkali-kali menghela napas panjang Danaraja menjawab perkataan Wisrawa, ayahnya “janganlah Ayahanda khawatir, karena yang Ayahanda katakana itu semua tidak pernah ada. Negara tetangga mustahil berani memusihi negeri kita, mereka sudah faham dengan kekuatan Angkatan perang Lokapala yang boleh disebut menduduki tempat teratas disbanding dengan negara-negara tetangga, maka seluruh raja di negara tetangga justru ingin tetap menjadikan kita sebagai mitra yang selalu siap untuk memberikan bantuan apabila negara mereka terancam. Punggawa dan sentana di Lokapalapun semuanya tidak ada yang merasa kecewa pada Ananda sebagai raja mereka, karena mereka tahu dan sadar bahwa meski kedudukan Ananda adalah raja namun tugas dan kewajiban Ananda sama seperti mereka juga, yakni mewujudkan rakyat dan negara Lokapala menjadi negeri yang aman tenteram dalam kemakmuran”.

 

“Sokurlah kalau memang begitu Anakku” sahut Wisrawa sambil tersenyum, ada sedikit rasa bangga di hatinya, didikan yang diberikan kepada anaknya telah dijalankan dengan baik dan benar “namun, sebagai orang tua Ayah tahu kalau saat ini hatimu lagi gundah gulana, dan itu sangat tidak baik kalau tidak segera diatasi, bisa mengganggu kinerjamu dalam menjalankan tugas pengabdian kepada negara dan rakyat Lokapala. Sekarang katakana pada Ayah, apa yang telah membuat hatimu gundah ? apa yang telah membuat  jiwamu seolah resah?”.

 

“Sebenarnya agak malu rasanya hati ini untuk berterus terang Ayahanda” sambil tersenyum kecut Danaraja menjawab pertanyaan Wisrawa “karena ini urusan yang sangat pribadi Ananda, Ananda ingin menikahi seorang gadis, namun Ananda ragu apakah cinta Ananda bisa diterima oleh gadis itu? Karena gadis itu puteri dari seorang Raja di sebuah negara yang teramat besar, negara yang kaya dan kuat yang didukung oleh laksaan bahkan kethian prajurit yang memiliki kesaktian luar biasa. Meskipun Ananda tak akan gentar seandainya harus berhadapan sebagai lawan dengan raja dan prajurit negara itu, namun Ananda tidak ingin membawa rakyat dan prajurit Lokapala ke medan perang hanya karena keinginan pribadi Ananda sendiri, maka sebenarnya kegundahan Ananda ini hanyalah karena memikirkan cara apa yang harus Ananda tempuh agar bisa menikahi gadis itu tanpa melalui cara-cara kekerasan yang bisa menyengsarakan rakyat di kedua negara”.

 

Wisrawa mengangguk-anggukkan kepalanya, jawaban dari Danaraja itu menunjukkan kemuliaan hati seorang raja sekaligus menunjukkan kepengecutan jiwa anaknya yang dihinggapi rasa ragu yang berlebihan. Kemuliaan hati Danaraja terbukti, dia tidak ingin melibatkan rakyat dan prajuritnya untuk mengejar keinginan pribadinya, sementara itu Danaraja yang merupakan  seorang pemuda berwajah tampan dan berkedudukan tinggi namun memiliki hati yang kecil, sehingga meragukan kelebihan yang ada padanya sehingga masih merasa sungkan untuk melamar seorang gadis, meskipun gadis itu putera raja juga.

 

“Anakku” akhirnya Wisrawa berkata dengan nada lembut “dirimu itu dianugerahi Dewa wajah yang tampan, tubuh yang bagus, kekayaan yang cukup dan kedudukan yang mulia sebagai raja. Menurut nalar yang wajar, tentu banyak gadis yang akan merasa tersanjung apabila kau kehendaki menjadi istrimu, namun ternyata engkau masih ragu dan ada rasa cemas kalau sampai lamaranmu ditolak oleh gadis pujaan hatimu itu, sekarang Ayah perlu tahu siapakah nama gadis itu? Siapa pula ayahnya yang katamu tadi seorang raja di negara besar yang memiliki berkethi-kethi prajurit yang sakti itu?”.

 

“Benar Ayahanda” sahur Danaraja dengan hormatnya “gadis yang Ananda cintai itu bukan gadis yang sembarangan, sudah puluhan raja yang datang melamar namun pulang dengan tangan hampa, karena ditolak. Bahkan tidak sedikit raja-raja yang pulang ke negaranya hanya tinggal nama, karena mencoba menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya yang akhirnya terbunuh oleh senapati negeri tempat gadis itu berada. Dia lah Dewi Sukesi, puteri negeri Alengka putera Prabu Sumali Raja besar yang berwajah raksasa, namun puterinya memiliki kecantikan yang melebihi bidadari di Kahyangan Suralaya”.

 

Tiba-tiba Wisrawa tertawa ceria, didekatinya anak tunggaknya itu lalu ditepuk-tepuk pundaknya dengan penuh kasih saying.

 

“Dirimu benar anakku” kata Wisrawa disela-sela ketawanya “Negara Alengka atau negara Langka memang negara yang besar dan kuat, Angkatan perangnya sangat disegani oleh negara manapun, bahkan dahulu pernah terjadi kekuatan pasukan negara itu hamper saja menggoyahkan kewibawaan Kahyangan Sang Hyang Indra yakni waktu negeri Langka dipimpin Prabu Banjaranjali, kakek Prabu Sumali yang sekarang berkuasa…….”.

 

“Sedemikian hebatnya Ayahanda?” Danaraja memotong perkataan Wisrawa “prajurit Langka berani melawan para Jawata? Apakah mereka itu keturunan Iblis sehingga berani melawan Dewa?”.

 

“Mereka itu sebenarnya juga keturunan Dewa anakku, yakni keturunan Sang Hyang Bathara Sambo, namun karena setelah diturinkan di Marcapada banyak kena pengaruh pemikiran bangsa raksasa akhirnya mereka menjadi liar. Namun, justeru karena gadis yang kau dambakan itu Dewi Sukesi putera Prabu Sumali, maka Ayahmu menjadi senang mendengarnya. Ibaratnya sulit meraih buah ranti daripada menjadikan Sukesi sebagai istrimu anakku” Kata Wisrawa sambil tersenyum senang.

 

“Apa maksudnya dengan kalimat yang Ayahanda sampaikan itu?” Danaraja bertanya heran, ayahnya begitu mudah mengatakan bahwa untuk menjadikan Sukesi menjadi istrinya.

 

“Maksudnya, keinginanmu akan segera terlaksana” jawab Wisrawa sambil terus tersenyum “sekarang bergembiralah, ayah mau dating ke Negeri Langka, menemui Prabu Sumali meminta persetujuannya membawa pulang Dewi Sukesi untuk menjadi istrimu”.

 

Danaraja memandang wajah ayahnya dalam-dalam, sulit rasanya mempercayai omongan ayahnya yang sudah menjadi Pendheta dan selamanya tak pernah bicara dusta itu.

 

 

bersambung

 

 

Senin, 19 September 2022

SENDHANG MUSTIKANING WARIH VI (100)


 

100.

Bareng karo rampunge Kang mBok Setyawati guneman ngandhakne yen olehe Guru lan aku kepuser dening banyune sendhang sing kena sawabe walat sing dipasang dening Bagindha Kilir utawa Sang Bathara Ijo, merga ya mung awit ngundhuh panyakrabawa sing ala kuwi, dumadakan saka dhuwur katon tumiyub pawongan sing busanane sarwa ijo banjur ngadeg ora adoh saka papane Kang mBok Setyawati. Padha karo kahanane Ratu Pangayoman, paraga sing lagi teka kuwi uga ancik-ancik banyu ing lumahing sendhang nanging kaya wong ngadeg neng lemah lumrah. Weruh tekane wong sing nganggo sandhangan sarwa ijo kuwi, Ratu Katentreman banjur lungguh jengkeng neng ora nglaih saka papane, katon yen kurmat banget marang wong sing lagi teka kuwi.  

 

Wong sing lagi teka kuwi nduweni praupan sing resik bening, pakulitane kuning, umur-umurane kira-kira rada sethithik luwih akeh tinimbangane aku, dhasare ngono wong kuwi duwe rupa sing keneng diarani bagus, ngingu brengos sing rada tipis, ngingu jenggot sing ora pati dawa, nambahi manise. Busana rupa ijo sing dienggo wujud jubah lan sorban, nganggo selop sing rupane uga ijo.

 

“Ngaturaken kasugengan sarawuhipun Bagindha” Kang mBok Ratu mbagekne wong sing lagi teka kuwi, yen nitik panganggone sarta olehe Ratu Katentreman nyebut marang wong kuwi nganggo sebutan Bagindha, aku bisa mesthekne yen sing lagi teka kuwi sing jeneng Sang Hyang Wilis utawa Bagindha Kilir “Bekti kula katur”

 

“Oleh pamuji ndika rahayu tekaku ing kene Kanjeng Ratu” wangsulane Bathara Ijo karo mesem “Kanjeng Ratu ngaturake bekti wis tak tampa kanthi senenging atiku, ya taklimku wae tumrapa marang ndika”.

 

“Ngaturaken genging panuwun Pukulun” Kang mBok Ratu semaur karo manthuk kurmat “samangke kaparenga pun patik nyuwun dhawuh”.

 

“Kanjeng Ratu” Bathara Ijo guneman karo ulat sing sumeh “durung wancine Kanjeng Ratu nampa ngelmu saka ulun sawise Kanjeng Ratu ngunjuk Tirta Rasa Kundha peparing ulun nalika samana. Tekaku iki mau temene mung merga panguwuhe banyu sendhang iki sing nyuwun palilah nyirnakne titah sing abudi candhala sing wis wani nggebyur ing sendhang iki kanthi nggawa sedya sing ora prayoga marang sing kajibah njaga katentremaning sendhang. Mula gegancangan aku lumawat mrene, sing ana jebul Raden Kala Canthuka lan Raden Bagus Suwanda sing lagi diperes tenagane dening banyuning sendhang, mula tumuli ulun tulungi jalaran durung trep karo kaluputane yen kongsi priyayi loro kuwi sirna merga pangamuke banyu sendhang iki. Lan kang luwih baku maneh, Gusti isih paring wektu marang priyayi loro kuwi kanggo ndandani uripe sarta nebus kabeh kaluputane, mbok menawa priyayi loro kuwi isih duwe pangarep-arep bali ing dalan sing jumbuh karo piwulangE. Wis mangsa bodhowa anggon ndika nindakne kabar sing ulun gawa iki, ulun arep nerusne laku nindakne dhawuhE”.

 

Rampung olehe guneman, let sagebyaring that-thit, Bathara Ijo wis ora katon, ilang saka pandululuku. Kang mBok Setyawati katon kaya nguntabne lungane paraga kang busana sarwa ijo kuwi mau.

 

“Raden Kala Canthuka lan ndika Raden Bagus Suwanda” sawuse rada sauntara saka ilange Sang Bathara Ijo Kang mBok Setyawati guneman marang Guru lan aku “tak kira ora ana gunane ndedawa gunem sing tanpa guna antarane ndika lan aku. Dhawuh pangandika saka Panjenengane Sang Bagindha Kilir wis cetha, Gusti Sing Maha Agung isih kepareng paring kalodhangan marang ndika sakloron kanggo ndandani urip. Mula klawan kekuwatan sing tak gadhuh saka Kang Maha Agung, ndika sakloron arep tak selehake ana papan sing mbok menawa ing papan kuwi ndika bisa eling marang piwulangE. Sing baku ndika sakloron uga kudu sumurup, ing papan kanggo nyelehake raga ndika kono mengko, mbuh pirang atus tahun lawase ndika sakloron bakal nandhang lumpuh tanpa kekuwatan lan bisa bali pulih lamun ndika wis padha ngrumangsani ing kaluputan ndika kanthi nindakne laku panebusaning dosa sarana ngakehne tumindak sing migunani tumrap titah liya. Marang Dhimas Suwanda, tak wenehi weruh ing mbesuk manawa ana titah sing mbutuhake pitulungan marang ndika, kamangka ndika rumangsa ora bisa aweh pitulungan mangka tuduhna titah-titah kuwi supaya menyang Sendhang Pangayoman kene, wis cukup semene wae, saiki ndika bakal tak untabne menyang papan ndika sing anyar”.

 

Bubar Kang mBok Setyawati guneman ngono kuwi dumadakan kahanan dadi peteng dhetdhet, kasusul bledheg mangampar-ampar sing ngetutne tumibane udan sing kaya diperes saka langit lan nuwuhake banjir sing gedhene ora karuwan ngerem papan kono kabeh. Aku lan Guru sing ora bisa apa-apa, digawa ilining banjir. Mung eloking kahanan, Guru keseret banyu mangetan parane, dene aku keseret ilining banjir mangalor. Aku karo Guru dipisahne dening pangamuking banyu banjir

 

Embuh nganti pirang dina aku kemampul katut banjir, wasana  aku tekan papan sing saiki tak panggoni iki. Ya ing papan kuwi aku wiwit krasa yen satemene aku wis salin wujud, wis dadi titah sing awujud titah maya, utawa yen wong ngarani aku iki wis dadi bangsa prayangan. . Ing papan kono aku wiwit ngrumangsani kabeh dosa lan kaluputan sing tau tak tindakne, iya dosa marang Hyang Agung, iya dosa marang sapepadhaning titah. Temah mbaka sethithik kekuwatanku wiwit mrambat arep pulih.

 

“Estunipun dereng rampung cariyosipun mBah Tambak dhateng Ki Sarkara Adhi” kandhane Pradapa sawuse suwe kojah nyritakne lelakone mBah Tambak sing ditemoni wong tuwane nalika keplayu saka laladan kutha Pajang “nanging, gandheng sampun sawatawis kathah anggen kula wicanten, kamangka wekdalipun ugi sampun nyaketi gantos ari, menawi Adhi Rangga miwah Adhi Marga marengaken kula badhe kendel sakedhap, mangke utawi benjing badhe kula lajengaken malih”.

 

“He he he he……” Rangga ngguyu “satemene sing ndika critakne kuwi nengsemake banget Kakang Pradapa, lan aku uga kepengin ngerti lakone Raden Bagus Suwanda sawise manggon neng Sendhang Tambak kanthi wujud titah maya kuwi kepriye? Lan banjur sambung rapete pusaka ndika sing arep ndika larung neng Sendhang Ngiyom kuwi apa? Lan maneh aku uga kepengi ngerti crita mula bukane ndika padha memungsuhan karo Lurah Danara sakancane kae mau. Nanging aku uga ngerti yen satemene kahanan ndika iki isih durung pulih, sanadyan tatu tilas kudhi sing tumancep neng lempeng ndika kuwi wis mari merga ditambani adhiku Si Marga. Nanging luwih prayoga awake dhewe leren dhisik, mengko utawa yen wis ilang kesele bisa ditutugne nggon ndika crita”.

 

“Inggih Adhi. Matur nuwun sanget” wangsulane Pradapa kurmat.

 

Sauntara wong sing ana papan kuwi padha meneng, angin wengi wiwit sumilir atis. Nekakne rasa ngantuk ing mripate tanggon sakancane. Ora krasa andhahane Bagus Pradapa kuwi padha keturon. Nusul Pradapa sing uga wis ndhisiki turu.

 

“Rumangsaku critane Pradapa kuwi ya lumrah wae ki Kakang?” kandhane Marga marang sedulure angkat, alon-alon, sajake kuwatir yen mbrebegi sing lagi padha turu.

 

“Aku ya ngarani ngono Dhi” wangsulane Rangga karo ngguyu “nanging ing sela-selaning wektu sing ora kanggo nandangi gaweyan utawa nggagas sing ana paedahe, tak kira ya becik wae nyemak crita sing katone rada ngayawara iki”.

“Bener Kakang” wangsulane Marga karo ngimbangi mesem “ya muga-muga wae, Pradapa enggal pulih bayu anggane, kareben olehe crita luwih krasa lan kepenak disemak”.

 

 

SIGEG.

 

Cariyosipun Raden Rangga ingkang ngumbara dhateng laladan Ngawi menika taksih panjang, nanging gandheng menawi saben dinten namung nyemak criyos modhel makaten menika saged ndadosaken bosen. Inggih awit saking menika, kangge sawatawis wekdal cariyosipun Raden Rangga lan Marga dipun sigeg rumiyin. Benjing-benjing menawi wonten ingkang ngersakaken murih dipun lajengaken, saged dipun aturaken malih.

 

Tebah siti sekul biuntel roning kalapa, apuranta awit kathahing lepat ing seratan kula. Nuwun.

 

Kedunggalar, 19 September 2022.

 

Taklim kula

 

 

Rust Luh Getih.

Sabtu, 17 September 2022

SENDHANG MUSTIKANING WARIH VI (099)


99.

Guru ndhisiki mlumpat ambyur menyang jero sendhang, bablas slulup mendhasar, aku ora sranta uga banjur nututi ambyur lan slulup. Nanging aneh, banyu sendhang sing mau katon anteng ora obah kajaba mung ing lumahe sing lerap-lerap nurut lakune angin sing semribit kuwi, jebul ing sisih ngisor munyer seser banget. Ragaku katut puseraning banyu temah kangelan anggonku bisa ndhasar nututi Guru. Nganti sawatara suwene aku ora bisa polah kajaba mung nuruti mubenge banyu sing sansaya suwe sansaya krasa atis kuwi. Jroning batin aku nggagas, jebul sing diwedeni Guru mau dadi kanyatan, mung bedane mau Guru ngendika mbok menawa ing jerone sendhang akeh buron banyu sing mawa wisa sing bisa gawe patiku, jebul sing tak temoni dudu kaya apa sing dingendikaskne Guru mau, nanging malah wujud obahe banyu sing menyer seser ngungkuli kitiran, nggulung raga sing ora bisa tak lawan babar pisan. Kajaba muser kaya uwer, banyu sing nggulung awakku kuwi uga ora manggon, nanging mubeng ngubengi ambane sendhang sing kira-kira ana rong pulugh dhepa mubeng, ndadekne sansaya suwe aku dadi sansaya lemes, jalaran kangelan nggonku arep ambegan. Jroning cipta aku wis ngira, yen dina kuwi dina pungkasan ngonku urip ana jagad padhang. Lan aku ora ngerti bakal menyang ngendi parane suksmaku mengko, anjog menyang dhasaring neraka utawa Kahyangane Sang Hyang Yama apa bisa katarima nggayuh Nirwana, utawa malah kesasar laku nglambrang inga lam antara. Aku ora kuwawa mbacutake nggonku mikir, awit anane mung rasa wedi lan miri sora cetha apa sing tak wedeni. Lan bareng sansaya angel nggonku ambegan, wekasan aku banjur ora eling apa-apa maneh.

 

Aku lagi eling sawuse krungu suwara anggunge manuk sing sesautan rame, ana suwarane manuk Podhang, ana suwarane manuk Jalak, Genthilang lan manuk liyane sing nyenggaki anggunge manuk Drekuku sing unine ajeg. Alon-alon lan aku mbukak mripat, jebul wektu kuwi aku wis gumlethak ing perangan gisiking sendhang sing ora adoh saka kono katon leberaning banyu sendhang mili dadi kali cilik sing suwarane kumricik. Otot bayuku kaya dilolosi rasane, aku banjur nyoba tangi saka nggonku gumlethak, lungguh. Sepira kagetku bareng aku wis lungguh, aku weruh sesawangan sing uga nrenyuhake liyane. Guruku, Raden Kala Canthuka, katon ngglethak neng wedhen gisik sendhang, kanthi busana sarta rikmane dadi awut-awutan ora karuwan.

 

“nDika isih urip Gus Wanda?” isih karo ngglethak, Guru ndangu aku nalika aku nyoba nyedhaki papane “pangiraku kleru, dudu buron banyu  mawa wisa sing ngadhang laku, jebul malah awake dhewe iki mau lagi wae kena siku dhendhane sing momong banyu”.

 

“Ingkang momong banyu Guru?” aku matur nyuwun pirsa jalaran akum au ora weruh sapa-sapa kajaba mung banyu muser sing dadi uwer “menapa menika  taksih sapukawatipun Kang mBok Ratu Setyawati?”.

 

“Heh..heh…heh….” nadyan ngrekasa Guru meksa ngguyu banjur wangsulan “dudu!. Malah nek ora kleru kuwi kena diarani Gurune Setyawati sing anyar dhewe, merga durung suwe nggone Setyawati wanuh karo Pamonging Banyu sing tak kandhakne kuwi, nanging katone Setyawati kasengsem karo apa-apa sing dikandhakne wong kuwi. Nek aku satemene wis rada suwe nggonku tepung, ya iku nalika aku isih manggon neng Candhi Gunung Kumitir, nanging gandheng aku ora sudi nggugu kabeh sing dikandhakne wekasane wong kuwi banjur lunga ninggalne aku, kepethuk-kepethuk ya mbarengi awake dhewe nggebyur menyang sendhang mau”.

 

“Sinten menika Guru?” aku nyuwun pirsa maneh.

 

“Wong Jawa yen ngarani jenenge Sang Hyang Wilis, utawa Bathara Ijo”isih karo ngglethak Guru paring wangsulan “merga wong kuwi sandhangane ajeg nganggo jubah warna ijo, nanging gandheng wong kuwi mau duwe watak seneng niru pakulinane bangsa Ngarab, dheweke luwih seneng diarani Bagindha Kilir sing tegese uga Ijo” .

 

Aku banjur meneng, ora wani matur maneh, merga aku durung mudheng karo sing dingendikakne Guru iki mau. Selawase urip, aku krungu jeneng Sang Hyang Wilis, utawa Bathara Ijo utawa Bagindha Kilir ya lagi iki, luwih-luwih Guru wis ngarani nek ana paraga sing dadi Pamonge Banyu barang, aku dadi sansaya ora mudheng maneh. Malah aku banjur ngira, mbok menawa awit saking sayahe dipuser dening ulekaning uwer mau, ndadekne Guru kumat gerah engetane, mula aku banjur ora guneman apa-apa.  

 

“Ora sah ndadak mbok kira merga uwer sing muser lan nggulung ragaku omonganku dadi kaya ngene iki Gus” bareng rada suwe aku meneng, Guru ngendika karo suwara sing rada sengak “merga dhasare pancen aku iki wis suwe dadi wong edan”.

 

Aku kaget, Guru pirsa karo sing lagi tak gagas.

 

“Nyuwun pangapunten Guru” aku tumuli nyuwun pangapura.

 

“Ora sah ndadak njaluk wis wiwit mau pangapuraku wis tak wenehne ndika” wangsulane Guru maneh “saiki aku wis ora bisa tangi, embuh nganti mbesuk kapan aku ora ngerti, saiki nek ndika isih bisa mlaku, tumuli ndika tinggalne papan kene, ndika buwang wae angen-angen ndika arep ngrabi Setyawati, merga mesthi ora bakal kelakone. Nek ndika ora enggalk-enggal lunga saka kene, bisa-bisa dhemit-dhemit wadya balane Setyawati sing nunggu Sendhang iki banjur padha mara, mengko ndika bisa dadi cilaka”.

 

Krungu dhawuhe Guru ngono kuwi, awakku sing dhasare wis lemes dadi sansaya lemes, sethithik kekuwatan sing mau wiwit ana, temah aku bisa tangi lan nyaketi Guru, mbalik ilang maneh, nalika tak coba arep tak enggo ngadeg, aku wis ora bisa. Aku bali lungguh ndheprok neng sisihe Guru sing ngglethak ora bisa obah. Aku rumangsa wis ora duwe pangarep-arep maneh kanggo nutugne urip, aku wis ora duwe sapa-sapa maneh sing bisa tak sambat sebuti, Guru wis ngendika nek wis ora kagungan daya kekuwatan maneh, malah arep tangi saka anggone ngglethak wae wis ora bisa, nek saiki aku didhawuhi lunga, banjur akua rep lunga menyang ngendi?. Sing luwih nglarani ati maneh, ya iku dhawuhe Guru sing ngandhakne yen aku ora bakal klakon bisa urip bebarengan karo Kang mBok Ratu Setyawati . Apa aku bisa nglalekne rasa tresna lan kayungyunku marang Kang mBok Ratu? Apa bakal klakon aku dadi gendheng kaya Guru?.

 

Dumadakan aku dikagetne dening anane cahya ijo sing tumiyup saka langit, pas ana tengah-tengahe Sendhang. Lan nalika cahya ijo kuwi ilang, katon ing dhuwure banyu Kang mBok Setyawati ngadeg, kaya mancik ing dharatan wae. Cahyane katon luwih sumunar, ayune tansaya wuwuh, luwih-luwih nalika Kang mBok nyilakne jarit sing dienggo sajak samar yen nganti teles kena banyune sendhang, katon kentol sing nglabu dawa (kaya labu ning dawa – rust) ndadekne atiku kumesar ora karu-karuwan.

 

“Saiki wis cetha Kala Canthuka” dumadakan Kang mBok Ratu guneman rada banter “yak enteni nganti jingglengen neng sitinggil kraton Katentreman, ndika ora teka, kanthi mangkono aku dadi weruh sapa sejatine sing wis ngumbar ujar lamis, sapa sejatine sing gunemane ora kena dipercaya”.

 

“Ratu, aku njaluk pangapuramu, aku ngakoni luput” karo panggah ngglethak merga ora kuwat obah, Guru aweh wangsulan “nanging ndika aja banjur selak yen uga wis tumindak cidra kanthi mapanake walate Sang Hyang Wilis ana sajerone Semdhang, temah aku lan Gus Wanda dadi kaya mangkene kahanane, upama ndika ora pasang walate Bathara Ijo ing jero Sendhang sing ndika arani Sendhang Pangayoman kuwi, mesthi aku wis bisa mbuktekne yen sing tak kandhakne ora kabeh dora, ora kabeh ora jumbuh karo tulisan ing jero atiku lan kosok baline, aku mesthi bisa meruhi yen embuh akeh embuh sethithik mesthi ana guneman ndika sing ora tulus kaya ucaping ati ndika……”.

 

“Kala Canthuka” Kang mBok Setyawati wangsulan karo mesem sajak ngece “sing pasang walat kuwi dudu aku, nanging Panjenengane Sang Bagindha Kilir, anane ndika bisa kena walat merga ndika nduweni ati sing ora resik, ndika mesthi wis nyujanani nek aku arep gawe cilaka ndika lan para rowang ndika ing jero sendhang iki, ya awit pangira ndika sing mangkono mau sing ndadekne ndika kena walat, upama ndika ora kegedhen rasa sujana lan nduweni pandakwa ala marang aku lan iya marang sapa wae, mangka walat sing diselehne Sang Bagindha Kilir ing jero sendhang kuwi ora bakal ndadekne cilaka”.

 

 

Ana candhake.

 

Jumat, 16 September 2022

SENDHANG MUSTIKANING WARIH VI (098)

98.

Guru jumeneng njegreg ing lambening sendhang, karo mirsani weninging banyune sing nganti katon dhasaring sendhang wujud pasir lan watu-watu cilik sing kaya ditata, katon tharik-tharik, sauntara aku karo Lancur ngadeg neng pungkure. Guru ora tumuli ambyur kaya sing wis ditindakne dening Kang mBok Setyawati lan abdi-abdine mau, malah banjur noleh memburi nyawang aku lan Lancur, karo ngendika, mundhut pirsa lan panemu :

 

“nDika sakloron apa percaya karo sing dikandhakne Setyawati mau?”.

 

“Bares kemawon kula boten mangertos Guru” aku atur wangsulan “kewedan anggen kula badhe matur, menawi nyata bilih korining kadhaton Katentreman menika manggen ing telenging sendhang menika, raosipun aneh saha boten kepanggih ing nalar, nanging nyatanipun Ratu Setyawati tuwin abdinipun kekalih wau sampun langkung rumiyin ambyur lan awakipun piyambak kapurih nututi”.

 

“Dudu kuwi sing tak karepne Gus” Guru ngendika karo cengar-cengir nuduhne lucune “aku sujana Setyawati yen sing dikandhakne Setyawati mau mung sarana kanggo gawe cilakaku lan ndika sakloron. Mula bener miturut panrawanging mripatku ing dhasaring sendhang iki ana lawing sing tumuju menyang sitinggil kraton Katentreman, nanging bisa wae ing jerone sendhang iki ana utawa akeh buron banyune sing galak lan mawa wisa, kamngka sing bisa nyrateni buron-buron banyu kuwi mung Setyawati lan abdi-abdine, banjur nalika awake dhewe ambyur lan slulup menyang dhasaring sendhang banjur dikruyuk dening buron-buron sing mawa wisa kuwi, awake dhewe bisa cilaka sadurunge bisa mlebu menyang kedhatone Setyawati”.

 

“Nanging Guru gajegipun rak sampun saged nglulutaken wisaning gegremetan kados sawer lan sapanunggalanipun ta?” aku matur, kelingan yen tau weruh Guru tau dolanan ula mandi, ya iku ula bandhotan emprit sing mandine wisane bisa gawe patine sapa wae sing kena dicakot.

 

“Beda Gus, saben buron sing mawa wisa duwe watak sing ora padha” wangsulane Guru karo mesem “nek mung bangsane ula lan gegremetan ing dharatan, kanthi gampang aku mesthi bisa ngatasi, nanging nek ngadhepi buron banyu sing mawa wisa, aku durung ngerti bisa ngayomi ndika sakloron apa ora?”.

 

“Lajeng prayoginipun kados pundi Guru?” aku matur karo neng angen-angen tuwuh rasa kuwatir, yen nganti Guru ora sida ngetutne lakune Kang mBok Setyawati, Ratu Kraton Katentreman mesthi bakal nesu lan embuh nganggo srana apa mesthi banjur mbudidaya nundhung Guru sarta aku lan Lancur saka papan kene digusah kaya nggusah kewan. Gelem ora gelem bakal dadi pancakara antarane Guru, aku lan Lancur mungsuh Kang mBok Setyawati, Ki Jurudah lan Ki Prasanta. Aku mung kari bisa ngarep-arep, muga-muga mengko yen klakon dadi kerengan tenan, Kang mBok Setyawati lan para abdine bisa dikalahake.

 

“Saiki kari anteb lan tekad ndika kepriye?” Guru mbalekne pitakonku “wani apa ora nempuh bebaya iki? Yen ndika ora wani, kuwi aran lumrah lan babar pisan ora kena dianggep luput, becike awake dhewe enggal oncat wae saka papan kene sadurunge Setyawati mbalik mrene karo ngerigne wadya balane kanggo nggusah awake dhewe. nDika aja kleru tampa, aku ora wedi saupama klakon dadi kerengan antarane aku mungsuh Setyawati sawadya balane, nanging aku kuwatir yen nganti sajroning pancakara mengko Setyawati nganti tumekan pati, jalaran jenenge adu kasekten bisa wae Setyawati utawa aku sing bakal tumekeng lampus, jalaran kekarone padha dene suthik yen kudu kasoran. Lan yen nganti Setyawati sing mati, awake dhewe babar pisan ora bisa ngukup bathi apa-apa, malah kepara bakal kelangan, mligine ndika dhewe Gus Wanda”.

 

Tak gagas-gagas apa sing didhawuhne Guru kuwi pancen bener. Nanging nek aku milih oncat saka kene, mangka gegayuhanku kanggo bisa mengku Kang mBok Setyawati bakal gagar wigar babar pisan. Mula sawuse tak timbang lan tak limbang-limbang, aku arep matur marang Guru yen embuh apa sing bakal kelakon, luwih becik aku milih wani wae nggebyur ing telenging sendhang iki, mbok menawa ana pitulunganing Dewa sing bisa nylametake aku temah bisa manjing kedhaton lan ngunggahi sitinggil kraton Katentreman, ing kono bakal tak kandhakne isen-isening atiku marang Kang mBok Setyawati. Kaya sing didhawuhne Guru sadurunge budahl mrene mau, ya iku Guru paring dhawuh supaya aku kandha blaka marang Kang mBok Ratu yen aku banget tresna marang dheweke lan nedya ngajak urip bebarengan dadi bojo.

 

Nanging kepiye karo Lancur? Apa aku mentala lan tega, ngajak Lancur nempuh bebaya sing kaya ngene gedhene?. mBok menawa wae kanthi jiwa satriyane, Lancur milih melu wani ambyur menyang dhasaring sendhang sing mbok menawa wae bakal mati merga dikruyuk buron banyu sing ana sendhang iki, kamangka Guru uga wis blaka yen durung karuwan bisa ngayomi. Banjur apa entuk-entukane Lancur nganti direwangi ngudhokne nyawane kuwi?. Lan yen nganti Lancur klakon dadi kurban ing dhasaring sendhang iki mung merga nglabuhi aku, iki cetha nek ora adil. Apa klakon mentala tumindak ora adil marang wong sing wis akeh labuh marang aku iki?.

 

“Dadi wong kuwi aja gampang bingungan Gus” kaya ngerti sing ana gegambaraning gagasanku dumadakan Guru paring dhawuh, karo cengar-cengir lucu “anggon ndika kedanan marang sedulur tunggal guru ndika kuwi pancen angel ditambani kajaba yen wis kelakon, mula nek mung kudu ngadhepi bebaya wisaning buron banyu ing sendhang iki kuwi tumrap ndika jeneng barang sing mung sepele. Uga watak sing diukir dening Tumenggung Jatikusuma nalika ndika dadi anak angkate kae pancen elok tenan. Nanging, ndika aja banjur bingung ngono kuwi, ora becik!, mundhak cepet gendheng kaya aku iki he he he he”.

 

“Inggih Guru” aku wangsulan karo mesem kecut “lajeng kados pundi prayoginipun? Keparenga Guru paring kali damar”.

 

“He he he ……Gampang tur nganggo banget kuwi” Guru paring wangsulan karo ngguyu “saiki ndika rungokne aku tak kandha marang Ki Lancur”.

 

“Mangga Guru”

 

“Ki Lancur” Guru nimbali Lancur.

 

“Wonten dhawuh Guru?” atur wangsulane lancur karo nundhuk kurmat.

 

“Murih luwih slamete urip ndika” Guru nutugne paring dhawuh “ndika kanggo sawatara wektu kudu pisah karo aku lan Gus Wanda, jalaran kaya sing wis ndika rungokne dhewe, aku karo Gus Wanda arep ambyur ing telenging sendhang iki, kamangka kira-kira wae, ing sendhang iki akeh bebaya sing bisa gawe patine sapa wae sing wani nyemplung. Lan nek dijupuk tuna bathine, yen ndika melu-melu ambyur menyang sendhang iki luwih akeh tunane tinimbang bathine. Mula sadurunge aku lan Gus Wanda ambyur menyang sendhang iki, ndika bakal tak sawatake metu saka wewengkon Kraton Katentreman lan Sendhang Pangayoman kene, ndika bakal bali ing jagad kang nyata dudu jagad maya kaya wektu iki. Mengko nek wis rampung aku karo Gus Wanda nindakne prakaryan iki, ndika bakal tak temoni lan awake dhewe bali kumpul kaya wektu sadurunge iki”.

 

Durung nganti Lancur atur wangsulan, dumadakan Guru wis mandi slendhang sutra ireng ing astane. Ora karo ngendika apa-apa, slendhangireng dikebutne marang ragane Lancur. Eloking kahanan, Lancur tumuli ilang saka pandulu padha sakala. Ora suwe lamat-lamat keprungu Lancur guneman aweh warta :

“Guru, kula sampun dumugi jagad ingkang nyata, samangke kula mapan ing sangandhaping wit kepuh ageng ing caketing sumber toya. Kula namung saged memuji mugi Guru lan Gus Wanda sageda lebda ing karya, kula ngrantos rawuhipun Guru ing ngandhaping Kepuh menika sinambi ndedonga dhumateng Dewa Maha Kawasa”.

 

Guru mesem, ora mangsuli suwarane Lancur sing mung lamat-lamat kuwi, malah banjur paring dhawuh marang aku :

 

“Ayo Gus, awake dhewe nuli ambyur menyang sendhang iki, selak dadi pangarep-arepe calon garwamu Ratu Setyawati”.

 

“Mangga Guru suwawi kula dherekaken” wangsulanku karo tata-tata arep ambyur menyang telenging sendhang.

 

 

 

Ana candhake.

 

Kamis, 15 September 2022

SENDHANG MUSTIKANING WARIH IV (097)


 97.

Ratu ing Kraton Katentreman kuwi mung manthuk-manthuk krungu pawadan sing dingendikakne Guru dene Guru wani tindak ninggal Candhi ing Gunung Kumitir sing tanggung jawabe. Dadi kanthi pawadan iki cetha yen Guru ora ninggalne jejibahan, sanadyan Guru kena diarani kluyuran tekan ngendi-endi, nanging Candhi ing Gunung Kumitir tetep ana sing ngreksa kayuwanane.

 

“Dene pandakwa ndika sing angka loro” Guru nutugne olehe ngendika “temene ora bener yen aku nggodha Raden Bagus Suwanda anggone lagi arep ngayati nindakne laku Sabar Narima sing ndika dhawuhake, nanging aku malah kepara asung pambiyantu murih luwih cepeting laku nggone Raden Bagus Suwanda bisa nguwasani Ngelmu Sejatining Sih. Jalaran aku uga weruh yen temene kawruh ndika ing babagan Ngelmu Sejatining Sih kuwi uga durung paya-paya sampurna, lan aku weruh cara sing luwih cepet tumrap ndika lan Raden Bagus Suwanda kanggo ngaweruhi Aji Sekti Ngelmu Sejatining Sih tilarane Sang Maharsi Doradruwasa sing suci kuwi. Mula aku banjur nganthi Raden Bagus Suwanda kanggo nemoni ndika, kaya sing wis klakon iki. Mung kuciwane, wangune ndika durung bisa nyingkur sipat adigung sing mapan ing sela-selaning pangrasa, temah ndika milih ndhisikne nyawang remeh marang aku sing mung wong gendheng tilas bramacorah lan trahe wong dosa sing dhemen nindakne laku palacidra, babar pisan ndika nyingkur jiwaning adil lan wicaksana temah ora katon ing pandulu ndika sing abang ora selawase dadi abang, sing ijo ora selawase dadi ijo, sing reged ing titi mangsane uga bisa dadi resik lan kosok baline sing suci yen ora ngati-ati bisa malih dadi njejemberi……….”.

 

“Cukup!” rada banter Kang mBok Setyawati celathu, ngendheg kojahe Guru Raden Kala Canthuka karo ulat sing katon tenanan nuduhne yen migatekne apa sing dingendikakne Guru “aja ndika tutugne nggon ndika kandha, minangka titah lumrah aku wis ngrumangsani yen panggah kanggonan cacad, lali sarta luput. Nanging aku uga weruh laku pangati-ati kuwi luwih wigati murih ora gampang kena diapusi. Aku uga mbenerake lan ora ngluputake apa sing ndika kandhakne, sepisan maneh sing ndika ucapake mawa lathi, nanging aku durung ngerti apa sejatine sing ana ing waliking ukara sing ndika kandhakne. Luwih-luwih nalika aku njaluk wektu marang ndika kanggo nglimbang lan nimbang warta lan sarana sing ndika gawa lan njaluk supaya kanggo sawatara wektu ndika ninggalne papan kene nanging ndika ora anuju prana, kanthi mangkono nuduhne yen ndika uga isih ngremehne lan nganggep aku luwih bodho tinimbang ndika, ndika uga ndhisikne rasa sujana lan ora percaya marang apa sing dak kandhakne. Yen aku lan ndika padha ngukuhi benere dhewe-dhewe, mangka ora ana enteke awit ora bakal klakon ana pethuking rembug, sing ana iya sulayaning rembug. Nanging, minangka titah kang wis sinampiran jejibahan nata lan ngreksa Kraton Katentreman sing suci, Setyawati uga kagadhuhan papan kanggo miyak sakehing wewadi, sing sapa wae klebu aku dhewe, mlebu ing papan kuwi mangka bakal katon apa sing dadi isen-isening atine. Apa ndika sarowang wani bebarengan karo aku manjing ing papan kuwi kanggo nuduhne ana aksara apa ing waliking ukara sing diucapake? Yen ndika sarowang ora gelem kanthi pawadan apa wae, luwih becik cukup samene wae ndika ngajak rerembugan aku lan klawan nyebut asmaNe Dzat Sang Murweng Dzat  ndika sakanca bakal tak peksa ninggalne papan kene sarta selawase ora bakal ndika sakanca bisa bali mrene. Piye Raden Kala Canthuka? Ndika wani apa ora?”.

 

Ana rasa geter kaworan ndhredheg ana jeroning dhadhaku krungu ucape Kang mBok Setyawati sing keri dhewe iki mau. Apa sing dikandhakne kuwi mau cetha yen wujud panantang marang Guru lan uga marang aku. Yen sing dikandhakne Kang mBok kuwi nyata, mangka aku mesthi bakal kewirangan awit wis kejodheran wewadiku, ya iku yen satemene aku ora pati merdulekne marang apa sing sing diarani Ngelmu Sejatining Sih, sing baku malah aku mung kepengin bisa mengku Kang mBok Setyawati bisaa dadi sisihanku, dene lekas kanggo ngaweruhi Ngelmu Sejatining Sih wewarah saka Kanjeng Eyang Resi Doradruwasa kuwi bisa diarani mung pawadan wae. Nanging, yen nganti aku matur marang Guru supaya aja nggugu sing dadi karepe Kang mBok Setyawati luwih abot maneh pepulihe, yen klakon Guru lan aku sarta Lancur klakon dipeksa ninggalne papan kene lan ora bakal bisa bali mrene maneh, ateges pangarep-arepku bisa mangun bebrayan karo Kang mBok Setyawati wis gagar wigar lan buyar, mung mandheg tekan samene. Atiku dadi peteng dhet-dhet lelimengan kaya petenging wengi sing langite ketutupan mendhung ireng.

 

Aku uga ora bisa ngira-ngira apa sing ana penggalihe Guru, jumbuh karo sing dingendikakne apa ora? Nanging aku weruh yen Guru kagungan aji jaya kawijayan sing angel ditaker sepira akehe, mbok menawa wae bisa gawe tambar dayaning papan sing dikandhakne Kang mBok Setyawati mau. Lire, sanadyan wis manjing papan sing ora tulisaning ati sing bisa didhelikne, nanging merga dayaning aji jaya kawijayan sing digadhuh dening Guru luwih unggul, ndadekne Guru panggah ora bisa diwaca suwara sing ana penggalihe. Apa Guru uga bisa ngayomi marang aku lan Lancur ing papan sing dikandhakne Kakang mBok Setyawati kuwi?.

 

Tak lirik pasuryane Guru katon peteng, lathine rapet, palarapane katon sedhela-sedhela dijengkerutne, wangune wae lagi menggalih marang apa sing lagi wae dikandhakne Ratu Kraton Katentreman mau. Nganti rada sauntara Guru ora ngendika apa-apa.

 

“Piye Raden Kala Canthuka? Apa kurang cetha sing dadi kandhaku mau?” Ratu Kraton Katentreman kuwi ngambali pitakone.

 

“Ora, Ora Ratu” semu glageban Guru wangsulan “sing ndika kandhakne wis cetha lan wis tak ngerteni kabeh sing dadi surasane. Mung wae, krasa aneh ing angen-angenku dene ana papan kaya sing ndika kandhakne kuwi, kuwi nyata apa ngayawara?”.

 

“Ing kene sansaya cetha Kala Canthuka” Kang mBok Setyawati wangsulan karo mesem ngece “ing babagan iki wae ndika wis nggagas kanggo ora percaya karo sing tak ucapne, yen mangkono uga bisa dijupuk dudutan yen tenane antarane ndika karo aku iki padha dene olehe ora duwe rasa percaya marang siji lan sijine……..”.

 

“Mengko dhisik Ratu” kaya wong gragapan Guru nugel rembuge Kang mBok Setyawati “aku ngandel lan aku percaya marang apa sing ndika kandhakne mau kanthi sawutuhe. Aku mung kepengin weruh, papan sing ndika kandhakne kuwi manggone ana ngendi yen wis cetha papane, aku mesthi wae wani nggawa Raden Bagus Suwanda lan muridku sing jeneng Ki Lancur kuwi manjing ing papan sing ndika kandhakne yen ing kono kabeh wewadining ati bakal katon ngegla lan cetha”.

 

“Manggone ing Sitinggil Kraton Katentreman dene dalan kanggo tekan kana, bisa ngliwati telenging Sendhang Pangayoman ing sisih kono kuwi” muni ngono kuwi Kang mBok Setyawati karo nudingi Sendhang sing banyune bening lan nyarong nengsemake “Yen ndika wis saguh, ayo tutna lakuku ngunggahi Sitinggil Kraton Katentreman”.

 

Bubar ngucap ngono kuwi, Kang mBok Ratu banjur ngadeg, kursi gadhing sing mau dilungguhi dumadakan ilang saka pandulu, banjur prentah marang abdine :

 

“Ki Prasanta aja kesuwen nggonmu kapusan dening rasa lara sing mung semu kuwi, ayo dherekna aku munggah menyang Sitinggil. Ki Jurudah, ndhisikana laku bukaken korine”.

 

“Sendika Gusti” Ki Prasanta lan Ki Jurudah wangsulan bareng. Ana kaelokan maneh, Ki Prasanta sing mau ora kuwat ngglawat kesawaban slendhang pusakane Guru lan sandhangane sing rowak-rawek, wis bali pulih kaya sadurunge.

 

Ki Jurudah nyembah banjur ndhisiki mlaku, nyedhaki Sendhang sing banyune bening direngga dening wira-wirining iwak banyu sing padha nglangi kanthi mardika. Ki Jurudah banjur ambyur menyang Sendhang, ora suwe Kang mBok Ratu uga banjur ambyur bablas slulup menyang Sendhang kuwi diterokne Ki Prasanta. Guru aweh sasmita marang aku lan Lancur supaya ndherekne Guru nututi lakune Kang mBok Ratu.

 

 

Ana candhake.

SENDHANG MUSTIKANING WARIH VI (096)

96.

Sauntara Guru karo Ratu Kraton Katentreman padha omong-omongan, tak sawang Ki Jurudah mlaku nyedhaki Ki Prasanta sing isih ngathang-athang, ora obah. Alon-alon Ki Jurudah nulungi sedulure kuwi supaya tangi, lan kanthi katon ngrekasa banget Ki Prasanta bisa lungguh, nanging kahanane katon melas banget, praupane dadi pucet kaya praupan mayit, sandhangan sing nutupi ragane padha rowak-rawek kaya disuwek-suwek, perangan ragane Ki Prasanta kaprenah dhadha katon geseng kabeh nandhakne yen lagi nandhang tatu njero sing rada nemen. Ora mung aku sing nyawang kahanane Ki Prasanta, Lancur, Guru lan uga Kang mBok Setyawati tak lirik uga padha maspadakne anggone Ki Jurudah nulungi tangi sedulure.

 

“Kala Canthuka” Kang mBok Setyawati wiwit guneman maneh sawuse rada sauntara nguwasi kahanane abdine sing memelas kedadeyane kuwi “yen nyawang wohing tumindakmu marang punggawaku, kaya-kayaa aku arep tega nguntapne patimu, nanging gandheng aku isih eling yen sing wenang murba pati uripe titah kuwi mung Hyang Kang Maha Agung, ndika isih tak wenehi kalodhangan kanggo lunga saka kene kanthi kahanan sing wutuh. Mula sepisan maneh tak ambali kandhaku, diage ajaken kanca rowangmu lunga ninggalne papan sing dadi wewengkonku iki kanggo selawas-lawase, ora pisan-pisan aku marengake bumi wewengkonku kapidak sikile titah sing kaya ndika sarowang, mula diage ndika budhal lunga lan aja nyoba bali mara mrene maneh!”.

 

“nDika aja banjur gumendhung dumeh kasampiran panguwasa ngono kuwi Ratu” Guru aweh wangsulan karo mripat sing murup nandhakne yen panjenengane uga lagi duka “madeg ndika ing papan sing ndika arani Kraton Katentreman lan Sendhang Pangayoman iki ora kasampiran jejibahan menging titah liya urip ing papan yasane Gusti Sing Maha Nitahake iki, dadi sanadyan ndika kuwi kena diarani Ratune papan kene iki, nanging ndika ora wenang menging wong utawa titah liyane melu manggon ana kene”.

 

“Aku kasampiran jejibahan ngreksa katentremane papan iki Canthuka” Kang mBok Ratu semaur banter karo ngepelne tangane, mripate uga katon angatirah, praupane mbrabak abang mangar-mangar. Nanging saka rumangsaku, nadyan sajroning kahanan nesu, ewa samono ayune Kang mBok Setyawati babar pisan ora suda, malah kepara sansaya wuwuh sulistyane. Aku dadi sansaya kasengsem ndulu kaendahaning titahing Gusti sing jeneng Setyawati iki.

 

“nDika mung bisa kandha nanging ora gelem nindakne sampiran jejibahan sing lagi wae ndika kandhakne kuwi Ratu” ora kalah sengole, Guru ngendika marang Kang mBok Setyawati.

 

“Aku ora mbutuhne pambijimu Canthuka, ndika sarowang wis gawe kisruhing wewengkonku, kanthi wani mara mrene banjur pamer kasudiran lan wis wani milara punggawa kraton Katentreman. Kudune ndika sarowang nampa pidananing Ratu Katentreman, nanging kagawa saka gedhening rasa welasku marang ndika sakanca, ndika sakanca ora tak patrapi pidana, mung tak kongkon tumuli lunga saka kene, mula enggal lungaa, aja ngenteni tak peksa nganggo cara sing mbok menawa bisa ndadekne ndika sarowang konclang nganti tekan Yamaniloka” karo muni ngono kuwi, Kang mBok Setyawati ngobah-ngobahne slendhang ijo sing mau dienggo nangkis slendhang irenge Guru. Slendhang sutra ijo kuwi, neng tangane Ratu Pangayoman bisa obah kaya obahe ula sing lagi arep nyaut mangsane, kaya ula sing lagi ngangkat sirah lan peranganing awake sisih ngarep, jejogedan arep nibakne upas sembur marang mungsuhe.

 

“Sansaya adoh nggonmu salah tampa Ratu” dumadakan suwarane Guru malih dadi nglendheh mudhun, keprungu sareh “wiwit pisanan aku wis kandha, yen tekaku kene kuwi ora nedya gawe kisruh kaya sing ndika kandhakne kuwi, nanging tekaku kene malah nggawa warta lan sarana murih sansaya tentreme wewengkon sing dadi reh-rehan ndika iki, nanging gandheng ndika ndhisikne rasa sujana lan nggedhekne rasa ora percaya, temah abdi ndika katut melu ngundamana aku, malah ngundhat-undhat dosane wong tuwa lan leluhurku sing wis ngundhuh wohing pakarti ing donya lan lagi nindakne lakuning pangadilaning Hyang Agung ing alam antara, wasana aku dhewe uga banjur lali nganti tumindak sing rada kebacut marang Ki Prasanta ya abdi ndika mau. Mula saiki tak suwun ndika gelema angapura marang aku lan saupama pangapura saka ndika kudu nganggo srana rupa pidana, aku ora bakal ngresula nampani pidana sing bakal ndika tibakne”.

 

Sansaya eram lan kurmatku marang Guru, jebul wong sing kala-kala katon kaya wong ora ganep nalare kuwi, nggembol jiwa sing agung lan mulya. Sanadyan nggadhuh kasekten sing kena diarani punjul ingapapak, parandene Guru isih ndhisikne weninging nalar kanggo nggayuh katentremaning sasama. Malah Guru uga ora suwala yen anggone tumindak merga saka lalining ati, kabranang pancinganing liyan, saupama kudu dianggep luput lan saguh nampa pidana barang. Aku tumuli nggagas sing katumpangan rasa pangarep-arep, kudune sawuse ngerteni apa sing dadi kersane Guru iki mau, Kang mBok Setyawati bisa migunakne nalare sing wening, ora ndhisikne rasa adigunge, banjur nggugu marang apa sing didhawuhne Guru mau. Ya iku tumuli nglumahake tangan nampani nugrahaning Gusti, ngrengkuh aku dadia gurulakine. Kanthi mangkono Ngelmu Sejatining Sih bakal tumuli bisa diweruhi kanthi wutuh temah bisa mbabar karaharjan lan katentremaning jagad, mligine katentreman lan karaharjane wewengkon Kraton Katentreman lan Taman Pangayoman sing dadi reh-rehane.

 

Pangarep-arepku sansaya ngrembaka wor lan rasa seneng sing wiwit ngebaki dhadha, nalika tak sawang Kang mBok Setyawati wis ora katon galak kaya mau, pasuryane bali ruruh jatmika lan merak ati maneh. Slendhang sutra ijo sing mau kober diobahne kaya ula bandhotan arep nyamber mangsan wis bali disimpen ana waliking busanane. Lan ora tak weruhi sangkane, ing sandhinge Kang mBok Setyawati wis cemawis kursi gadhing sing endah lan nengsemake. Alon-alon Kang mBok Setyawati banjur mapan lungguh ing kursi gadhing sing lagi wae jumedhul tanpa sangkan kuwi. Katon sansaya mundhak agung lan mrebawani.

 

“Sing ndika kandhakne kuwi pancen ana benere Raden Kala Canthuka” kanthi suwara alus sawuse mapan lungguh ing kursine Kang mBok Ratu wiwit guneman “aku ora selak pancen ana rasa sujana ing atiku marang ndika, nanging ndika aja banjur ngluputake aku jalaran nggonku duwe rasa sujana iki ana dhasare. Ya iku kang kapisan, aku weruh yen temene ndika wis nglirwakne jejibahan sing kudune ora bisa ditinggal, ya iku ngreksa kayuwanane Candhi ing Gunung Kumitir, nanging nyatane ndika wis kluyuran nganti tekan papanku kene. Kapindho, ndika wis kumawani nggodha marang sedulurku anom ya iku Dhimas Suwanda sing kudune dina iki miwiti nggone nindakne laku sabar narima minangka tebusan olehe wis gawe pepati sadurunge nguwasani Ngelmu Sejatining Sih, nanging malah ndika ajak bali maneh menyang Taman Pangayoman kene. Ewa samono, ndika isih bisa kandha yen teka ndika iki ora nedya gawe kisruhing kahanan ing Kraton Katentreman, nanging kepara  nggawa warta lan sarana murih sansaya tentreme jagad sing dadi wewengkonku, nganggo dhasar apa ndika bisa ngucapne tembung kuwi heh Raden Kala Canthuka?”.

 

“Ngene ya Ratu” Guru semaur karo ngguya-ngguyu “aku ora ngluputake nggon ndika nyujanani aku, merga aku uga ngerti lamun tekane sujana ing ati ndika, kuwi jalaran saka ndika durung weruh kang sanyatane, sepisan anane aku ninggalne Candhi Gunung Kumitir sing nyimpen awune wong tuwaku Raden Layang Seta sarta awune Pamanku Paman Layang Kumitir, kuwi jalaran ing wektu iki aku wis duwe siswa sing kena tak percaya lan sembada ngreksa kayuwanane Candhi ing Gunung Kumitir kuwi, yen ndika kepengin ngerti siswaku kuwi sapa, tak blakakne pisan ya iku Raden Gumilar, putrane Sawargi Menak Koncar ing Lumajang. Raden Gumilar nampa dhawuh liwat impen saka Kanjeng Eyang Resi ing Paluamba yen kepengin nggayuh kaswargan tanpa ngliwati laku panitisan utawa kudu klambrangan inga lam antara mbesuk yen wis tumekeng lampus, sranane kudu gelem necep ngelmu sing sumbere saka Paluamba, mula kanthi tekad sing gedhe Raden Gumilar milih lolos saka dalem kadipaten ing Lumajang ninggal kamuktene, banjur nusul aku menyang Gunung Kumitir saperlu nglari ilining ngelmu sing tuke saka Paluamba”.

 

 

Ana candhake.

SENDHANG MUSTIKANING WARIH 8. (52)

  52.         Tiyang-tiyang ingkang wonten ing Pringgitan sampun boten kaget malih mireng wicantenipun Bebau Sumber makaten menika. Sadaya s...