Total Tayangan Halaman

Jumat, 30 September 2022

SASTRA JENDRA YUNINGRAT PANGRUWATING DIYU (004)


04.

Resi Wisrawa terhenyak sejenal mendengar perkataan Prabu Gardapati yang ternyata memiliki kecerdasan berpikir itu, Raja Gardapura itu dengan cepatnya bisa menangkap nasehat Wisrawa, lalu mengubah niatannya dalam mencari berkah darinya. Kembali Wisrawa termangu dibuatnya, hati kecilnya mendorong untuk memberkati Raja negeri Gardapura itu, namun nalarnya berkata lain. Nalar yang dibalut nafsu mementingkan diri sendiri itu mengingatkan bahwa kalau sampai dia memberkati Prabu Gardapati berarti dia telah siap untuk berkhianat kepada kesanggupan yang telah disampaikan kepada anak tunggalnya, Prabu Danaraja. Nalarpun mengingatkan, boleh jadi karena berkah darinya Prabu Gardapati akan berhasil memperistri Dewi Sukesi dan dengan demikian berarti Danaraja, anaknya sendiri, menjadi terkalahkan oleh Raja negeri Gardapura tersebut. Agak lama batin Resi Wisrawa berdebat hebat, dia harus memilih mana yang harus diutamakan dalam menjalankan darma, yakni darmaning asepuh yang harus membantu anak satu-satunya agar berhasil menyunting seorang putri untuk dijadikan istri, dan darmaning brahmana yang harus memberkati sipapapun juga yang sudah berniat untuk menjadi kawulaning gusti dan berusaha untuk mendekat kepada Sang Hyang Maha Kawasa.

 

Setelah cukup lama merenung, akhirnya pilihanpun jatuh pada kecintaan orang tua pada anaknya. Resi Wisrawa memutuskan untuk menolak permohonan Prabu Gardapati yang minta diberkati.

 

“Terpaksa aku harus mohon maaf padamu Sang Prabu” berkata Resi Wisrawa setelah diam agak lama “aku terpaksa tidak bisa memenuhi keinginan Anda untuk aku berkati, bahkan aku sarankan pada Anda, agar Anda mengurungkan niat untuk melamar puteri Prabu Sumali itu, lebih baik jika Anda segera pulang ke negeri Gardapura. Anda bisa mencari wanita lain untuk Anda angkat menjadi Permaisuri”.

 

Prabu Gardapati terkejut mendengar jawaban Resi Wisrawa yang seperti itu. Sambil memandang wajah Resi Wisrawa, dia mencoba untuk bertanya :

 

“Maaf Sang Resi, keberangkatanku dari rumah ini karena aku mengikuti saran dari Nujumku agar memperistri Dewi Sukesi dan mengangkatnya menjadi Permaisuri Gardapura. Tetapi di sini justru Sang Resi memberiku nasehat dengan saran yang bertolak belakang dengan saran nujum negeri Gardapura, apa yang menjadi alas an Sang Resi memberiku nasehat dan saran tersebut?”.

“Baiklah Sang Prabu” jawab Resi Wisrawa “aku harus berterus terang padamu, sesungguhnya akupun akan menuju negeri Langka dan akupun berniat untuk meminang Dewi Sukesi pada Prabu Sumali……..”

 

“Apa?” Prabu Gardapati memotong perkataan Resi Wisrawa dengan suara yang agak keras “Anda sebagai seorang Brahmana yang telah setua ini mau melamar seorang Puteri yang masih gadis? Apakah aku tidak salah dengar Sang Resi?”.

 

“Jangan keliru Sang Prabu” Resi Wisrawa menjawab sambil tersenyum “aku meminang Dewi Sukesi bukan untukku sendiri, aku sudah tua dan sudah pernah menikah bahkan sudah dikarunia seorang putera yang usianya tidak bertaut jauh dengan usia Anda, dialah Prabu Danaraja Raja Negeri Lokapala, untuk puteraku itulah aku melamar Dewi Sukesi, aku ingin Dewi Sukesi menjadi istri puteraku sekaligus menjadi Permaisuri Negeri Lokapala”.

 

Tiba-tiba Prabu Gardapati yang semula duduk bersimpuh di tanah, berdiri. Lalu ditatapnya wajah Resi Wisrawa dengan berani.

 

“Jadi hanya karena itu Anda tak mau memberkati diriku?” dengan suara dingin Prabu Gardapati bertanya.

 

“Ya” jawab Wisrawa pendek,

 

“Ha ha ha ……” Raja negara Gardapaura itu tiba-tiba tertawa, lalu berkata “maafkan aku Resi Wisrawa, dengan sangat terpaksa aku cabut rasa hormatku pada Anda. Karena ternyata aku sudah salah sangka, Anda tak lebih dari manusia yang berjiwa rendah, namun berani berpakaian layaknya seorang Brahmana. Anda tidak layak menyebut diri sebagai Resi, karena Anda masih mementingkan kebutuhan diri sendiri, kebutuhan keduniawiyahan yang taka da sangkut pautnya dengan darma seorang brahmana. Sekarang dengarkanlah, aku akan berkata padamu : kalau tadi Anda telah menyarankan agar aku pulang saja dan mengurungkan niatku melamar Dewi Sukesi, maka saat ini juga saran Anda itu aku kembalikan, pulanglah ke Girijembangan lanjutkanlah pertaubatanmu kepada Sang Hyang Maha Kawasa, buang jauh-jauh rasa inginmu menjadikan Dewi Sukesi menjadi menantumu, karena ketahuilah sungguh bukan anakmu itu yang ditakdirkan oleh Jawata menjadi suami Dewi Sukesi, melainkan diriku inilah orangnya yang akan menjadi suami puteri negeri Langka itu”.

 

Gemertak gigi Resi Wisrawa menahan amarah yang membakar jantungnya. Perkataan Prabu Gardapati itu dirasakan sebagai hinaan yang keji kepadanya. Namun Resi dari pertapaan Girijembangan itu masih menahan diri, disabar-sabarkan hatinya yang sedang menyala.

 

“Prabu Gardapati” dengan suara yang dibuat dengan suara biasa Resi Wisrawa berkata “memang harus kuakui, sebagai manusia aku masih memiliki rasa cinta kepada anakku satu-satunya dan berusaha mencarikan istri yang layak buat anak itu tidaklah bertentangan dengan darma seorang brahmana. Adanya aku tak mau memberkati dirimu, itu karena aku sudah terlebih dulu menyanggupi keinginan anakku sebelum bertemu denganmu di sini ini tadi, jadi tidak dapat disalahkan bila terpaksa aku menolak permintaanmu. Adapun saranku padamu untuk mengurungkan niat dan pulang ke Gardapura, itu hanyalah sekedar saran, aku tak akan memaksa Anda untuk mematuhinya ………..”.

 

“Berbeda dengan saranku padamu Resi Wisrawa” Gardapati memotong perkataan Resi Wisrawa “saranku tadi justru wajib untuk Anda jalankan, khusunya yang berkaiatan agar mengurungkan niat datang ke negeri Langka. Dan aku siap memaksa Anda untuk membatalkan niat Anda melamar Dewi Sukesi, ya memaksa Anda dengan cara apapun juga”.

 

“Anda berani memaksaku Prabu Gardapati?” tanya Wisrawa dengan nada keras karena marahnya “berarti Anda telah menantang Resi Wisrawa?”.

 

“Tidak ada pilihan lain Resi Wisrawa” jawab Prabu Gardapati sambil menyingsingkan kain panjangnya “siapapun yang menjadi pesaingku untuk mendapatkan Dewi Sukesi harus kusingkirkan, kalau perlu harus kumusnahkan dari muka bumi ini agar tidak selalu merintangiku, termasuk dirimu”.

 

Meskipun sudah menjadi Brahmana, namun Resi Wisrawa adalah mantan seorang raja, mantan prajurit dan senapati perang yang tak pernah terkalahkan, sudah terbiaasa berkelahi melawan segala macam musuh, baik berupa manusia maupun raksasa. Maka mendengar tantangan dari Prabu Gardapati seperti itu, taka da sedikitpun rasa jerih di hatinya. Bahkan darah mudanya Kembali memanas, jantungnya terasa seperti terbakar dibuatnya. Segera dia menambatkan kudanya di batang perdu yang tak jauh dari tempatnya, lalu hanya dengan sekalim loncatan dia sudah berdiri di hadapan Prabu Gardapati.

 

Tiba-tiba dari barisan pasukan negara Gardapura itu, berloncatan lima orang prajurit dengan senjata di tangan mengepung Resi Wisrawa.

 

“Baiklah kalau ternyata kalian sudah tanggap” Prabu Gardapati berdesis kepada kelima prajurit yang baru datang itu.

 

“Kami siap dan menunggu dhawuh Paduka Gusti” sahut salah seorang dari kelima prajurit itu.

 

“Singkirkan tua bangka tak tahu malu itu!” Prabu Gardapati memberi perintah “kalau terpaksa  boleh kalian kirimkan dia ke dasar neraka biar bangkainya menjadi makanan binatang buas di hutan ini”.

 

“Dhawuh Paduka siap kami laksanakan” jawab prajurit tadi dengan hormatnya.

 

Gardapatipun kemudian menyingkir agak menjauh, memberikan ruang kepada prajuritnya untuk bertindak mengusir Resi Wisrawa. Kelima prajurit itupun kemudian segera merapat mendekati Resi Wisrawa yang juga sudah siaga dengan sikap sempurna.

 

“Hai orang tua, ketahuilah!” salah seorang prajurit yang tampaknya berpangkat paling tinggi mulai bicara pada Wisrawa “aku dan keempat orang ini adalah Senapati pengawal Kerajaan Gardapura, namaku Tumenggung Sabukgada, lalu siapakah engkau ini wahai orang tua yang tak tahu diri ini?”.

 

 

bersambung
 

Kamis, 29 September 2022

SASTRA JENDRA YUNINGRAT PANGRUWATING DIYU (003)

 

03.

Raja negara Gardapura itu menundukkan wajahnya sebentar, tak lama kemudian kembali menengadah menatap Wisrawa, lalu sambil menyembah diapun menjawab :

 

“Seperti yang telah kukatakan di depan, pastilah hanya karena menghormati pepatah bahwa tidak baik jadinya kalau “ndhisiki kersa”, Tuan menayakan hal itu padaku. Baiklah Sang Resi sesungguhnya kepergianku ini menuju negeri Langka atau negeri Alengka, Adapun tujuanku ialah melamar putera Prabu Sumali yang bernama Sukesi untuk kuangkat menjadi permaisuri di negaraku. Karena meskipun saat ini istri-istriku sudah puluhan jumlahnya, namun ada satupun yang memenuhi syarat untuk kuangkat menjadi Permaisuri. Adapun Dewi Sukesi, menurut wangsit yang diterima ahli nujumku, entah siapapun suaminya kelak Dewi Sukesi akan melahirkan putera-puteri yang semuanya memiliki kesaktian di atas rata-rata manusia dan raksasa, bahkan kesaktian putera-puteri dewi Sukesi kelak bisa disejajarkan dengan kesaktian Sang Hyang Surapati, Senapati Agung Kahyangan Jonggirisalaka. Nah, setelah aku sampaikan dengan jujur apa yang Tuan tanyakan, sekarang aku mohon Sang Resi segera berkenan memberiku berkah, agar keinginanku menyunting Dewi Sukesi itu bisa terlaksana”.

 

Mendengar jawaban Prabu Gardapati seperti itu, Resi Wisrawa sedikit agak terkejut. Sebagai seorang Brahmana, dia tak layak menolak permohonan siapapun juga yang minta berkah kepadanya, termasuk kepada penjahat sekalipun dia tak boleh menolak. Namun ketika berkah yang diharapkan dari Raja Gardapura itu agar bisa dijadikan penghantar untuk mempersunting Dewi Sukesi, hati Brahmana yang sudah faham berbagai macam Ilmu kasampurnan itu menjadi bergetar. Ragu. Karena kalau sampai karena berkah yang dia berikan kepada Prabu Gardapati itu bisa membuat keinginan Gardapati terlaksana, maka sama saja dia telah menggagalkan keinginan anak tunggalnya yang sedang jatuh cinta kepada puteri Prabu Sumali itu. Wisrawa membayangkan, goncangan apa yang akan terjadi di jiwa Danaraja, anak lelakinya, kalau sampai dia gagal melamar Dewi Sukesi, bahkan karena berkahnya Dewi Sukesi justru menjadi istri orang lain, yakni Prabu Gardapati, Raja di Gardapura, yang kalau dilihat tatarannya hanyalah raja di sebuah kerajaan kecil yang jauh di bawah kerajaan Lokapala yang dipimpin oleh anaknya itu.

 

Ingin rasanya Wisrawa marah dan menampar mulut Gardapati yang lancang itu, namun Wisrawa masih ingat, bahwa dalam hal ini tidak ada satupun kesalahan yang dilakukan oleh Raja negara Gardapura itu. Dia hanya meminta untuk diberkati, sedangkan berkah itu sendiri  ada padanya dan tak ada seorangpun yang mampu memaksan dirinya untuk memberikan berkahnya pada Prabu Gardapati. Maka Wisrawapun tak jadi marah, hanya saja berkali-kali dia menarik napas panjang, untuk menata hati dan Menyusun kalimat yang bijak sebagai jawaban atas permohonan Prabu Gardapati yang minta diberkati itu.

 

“Ma’afkan diriku Sang Prabu” akhirnya dengan suara yang rendah Wisrawa berkata “Aku minta Sang Prabu jangan salah memaknai berkah, karena sesungguhnya, yang namanya berkah itu tidak memiliki kekuatan apa-apa termasuk tidak serta merta membuat apa yang Anda inginkan tercapai setelah Anda aku berkati. Kethuilah Sang Prabu, yang bisa mengabulkan segala keinginan dan cita-cita setiap titah, itu hanyalah Hyang Maha Kawasa, sesembahan segenap titah dalam wujud apapun termasuk yang berwujud Dewa. Adapun berkah yang diberikan oleh Dewa dan para Brahmana kepada seseorang itu bisa terkabul atau tidaknya tergantung kemahaadilan Sang Hyang Maha Kawasa. Jadi kuharapkan Anda tidak usah terlalu berharap kepada yang Namanya berkah yang diberikan oleh siapapun termasuk dariku”.

 

“Ampun Sang Resi” Prabu Gardapati menyembah sambil berkata “aku tahu yang Anda sampaikan itu memang benar adanya, namun berkah itu sendiri bisa dijadikan lantaran dalam memohon kepada Sang Hyang Maha Kawasa. Aku menyadari betul, bahwa sebagai manusia biasa, kedudukanku sangat jauh dari Sang Hyang Maha Kawasa, karena jiwa dan ragaku banyak tercurahkan untuk mengejar kesenangan hidup di dunia ini saja, nama Sang Hyang Maha Kawasapun sangat jarang aku ucapkan, kecuali di saat-saat aku membutuhkan sesuatu yang aku tak mampu mewujudkannya. Berbeda dengan para Dewa dan para Brahmana termasuk Tuan sendiri yang cahaya Tuan tampak terpancar penuh wibawa, hal itu karena Tuan memiliki hubungan yang sangat erat dengan Sang Hyang Maha Kawasa, maka bila Tuan berkenan memberkatiku, diriku yang hina inipun akan terbalut oleh berkah yang Tuan berikan, sehingga Hyang Maha Kawasapun dengan segera berkenan memperhatikan diriku yang mudah dikenali lantaran berkah yang Tuan berikan”.

 

“Apa yang ada di pemikiran Anda itu sungguh sangat keliru Sang Prabu” Wisrawa menjawab perkataan Prabu Gardapati dengan nada yang serius.

 

“Pikiran yang mana yang keliru Tuan?” Gardapati balik bertanya.

 

“Semuanya tidak ada yang benar Prabu Gardapati” jawab Wisrawa “bahkan jalan pikiran Anda itu telah menyeret Anda untuk merendahkan Sang Hyang Maha Kawasa, Anda harus faham itu dan sebaiknya Anda segera mohon ampunan atas kesembronoan Anda yang telah menghina Sang Hyang Maha Kawasa itu”.

 

“Ampun Sang Resi” Prabu Gardapati menyembah lagi “sungguh tidak ada sedikitpun di hatiku untuk merendahkan Sang Hyang Maha Kawasa Dzat Yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia itu. Namun Tuan telah menuduhku kalau aku telah menghinaNya, bisakah Tuan membuktikan kebenaran tuduhan Tuan padaku itu?”.

 

“Baiklah Sang Prabu” Wisrawa menjawab sambil tertawa “dengarkanlah baik-baik, akan kutunjukkan pada Anda bahwa Anda benar-benar telah menghina dan merendahkanNya. Di depan Anda mengakui bahwa sebagai titah biasa Anda memiliki hubungan yang tidak akrab dan tidak dekat dengan Sang Hyang Maha Kawasa, bahkan namaNya saja jarang Anda sebut, kecuali di saat Anda terbentur masalah yang sulit diatasi”.

 

“Benar, memang demikianlah keadaanku Tuan” sahut Gardapati memotong kalimat Wisrawa “apakah mengakui keadaanku yang seperti itu lantas menjadikan aku pantas dituduh menghinaNya?”.

 

“Nanti dulu, kalimatkupun belum selesai” sambil bersungut-sungut Wisrawa menjawab “dengarkan dulu, jangan tergesa membantah sebelum kalimatku berakhir”.

 

“Ma’afkan aku Tuan” Prabu Gardapati cepat-cepat minta maaf “silakan Tuan lanjutkan, aku akan mendengarkan”.

 

“Yang kedua” Wisrawa melanjutkan berkata “Anda meminta agar aku memberkati Anda, karena Anda mengira aku ini memiliki hubungan yang lebih akrab dengan Sang Hyang Maha Kawasa, inilah wujud penghinaan Anda pada Sang Hyang Maha Kawasa, karena secara tidak langsung Anda telah menuduh Sang Hyang Maha Kawasa mudah dikelabuhi dengan berkah titah-Nya, Anda telah menuduh Sang Hyang Maha Kawasa mudah dibujuk dan dirayu oleh makhlukNya, sehingga dengan mudahnya mengikuti untuk mengabulkan keinginan hamba-Nya yang hanya numpang berkah hambaNya yang lain. Itulah kekeliruan Anda Sang Prabu, kalau Sang Prabu berkenan mengikuti saran saya selaku seorang Brahmana, mohonlah pengampunanNya atas kesalahan yang ada di perkiraan Sang Prabu itu. Berusahalah untuk bisa mendekat padaNya, agar Dia berkenan memperhatikan apa yang menjadi keinginan Anda”.

 

Prabu Gardapati tertunduk lesu mendengar nasehat dan saran dari Wisrawa itu, nampaknya apa yang dikatakan Wisrawa telah dibenarkan pula oleh jalan pikirannya. Namun tak lama kemudian, Raja negara Gardapura itu kembali menengadahkan wajahnya, dan sambil tersenyum ramah diapun berkata :

 

“Terimakasih Panembahan, dengan segala rasa senang nasehat dari Sang Resi akan aku laksanakan. Namun sebagai seorang pendosa, saya tetap mohon pertolongan Panembahan, berkatilah diri ini, agar perjalanan ruhani saya untuk mendekatkan diri kepada Sang Hyang Maha Kawasa dapat berjalan lancar, sehingga apa yang aku minta kepadaNyapun akan semakin mudah terkabulnya”.

 

 

 

Bersambung.

 

Rabu, 28 September 2022

SASTRA JENDRA YUNINGRAT PANGRUWATING DIYU (002)


02.

Resi Wisrawa tersenyum melihat sikap anak lelakinya yang sinar matanya memancarkan sinar keraguan atas perkataan yang baru saja disampaikan itu. Sambil Kembali duduk di kursinya, Pendeta yang berwajah sangat tampan itu berkata :

 

“Ketahuilah anakku, sesungguhnya Prabu Sumali Raja Raksasa yang teramat sakti yang sekarang menduduki singgasana di negeri Langka itu adalah sahabat ayah, Tidak sekedar sahabat tetapi sudah melebihi saudara sendiri, dia sering minta saran dan pendapat ayah untuk menjalankan roda pemerintahan di negaranya, dia juga sangat sering minta nasehat ayah dalam hal kedudukan kawula dengan gusti. Jadi hampir bisa dipastikan, kalau ayah meminta puterinya untuk dijodohkan dengan anak ayah, beliau akan dengan senang hati akan mengabulkannya”.

 

“Oh, begitukah ceritanya Ayahanda?” sahut Danaraja dengan tersenyum, hatinya mulai tenang, gundah gulana di hatinya mulai menyisih “sungguh Ananda hanya bisa berterima kasih pada Ayahanda bila Ayahanda berkenan melamar Dewi Sukesi untuk Ananda”.

 

“Tidak usah dirimu berterima kasih puteraku” jawab Resi Wisrawa sambil tersenyum bahagia “sudah menjadi kewajiban seorang ayah untuk mencarikan jodoh untuk anaknya, dan ayah juga merasa sangat senang ketika dirimu menjatuhkan pilihan pada Dewi Sukesi untuk mendampingi hidupmu”.

 

“Baiklah Ayahanda” kata Danaraja selanjutnya “untuk mengawal perjalanan Ayahanda ke Langka, akan Ananda perintahkan prajurit-prajurit pilihan serta untuk hadiah kepada Prabu Sumali akan Ananda persiapkan intan permata secukupnya untuk Ayahanda bawa”.

 

“Tidak perlu anakku” jawab Wisrawa “Ayah masih mampu menjaga diri, Adapun hadiah untuk Raja Langka itu, sebaiknya kau simpan dulu, baru nanti bila saatnya tiba kau serahkan sendiri hadiah itu. Hubungan antara ayah dengan Prabu Sumali itu sudah sangat akrabnya, sehingga basa-basi semacam itu sudah tidak terlalu dibutuhkan lagi. Sekarang, ayah minta gembirakanlah hatimu agar dirimu lebih baik lagi dalam menjalankan tugasmu sebagai raja untuk melayani negara dan rakyat di Lokapala ini. Ayah hari ini juga akan berangkat ke negeri Langka menemui calon mertuamu, Prabu Sumali”.

 

Danaraja mengantarkan keberangkatan ayahnya sampai gapura depan istananya. Para prajurit yang sedang berjaga ikut melihat perubahan sikap raja mereka yang beberapa hari ini tampak dingin dan kaku, hari itu berubah menjadi berseri-seri. Para prajurit itu mengira, kedatangan Resi Wisrawa yang dulu pernah menjadi Raja di negara itu, telah berhasil memberikan pencerahan kepada puteranya yang diamanati untuk melanjutkan memegang pemerintahan di negara Lokapala itu.

 

Perjalanan Resi Wisrawa ke Langka hanya sendirian, dengan mengendarai seekor kuda, Pendeta itu berangkat ke Langka, yang jaraknya boleh dibilang cukup jauh juga. Melewati berbagai rintangan, menyeberangi beberapa kali, kadang mesti mendaki karena jalan ke arah Langka harus melewati gunung dan perbukitan, menuruni lembah dan jurang, juga menyusup ke dalam rimbunnya hutan belantara yang liar. Dan itu berlangsung beberapa hari.

 

Ketika perjalanan Wisrawa sudah lebih dari separuh perjalanan, di sebuah padang berperduan, tiba-tiba Pendeta itu dikejutkan dengan suara gemuruh, suara iring-iringan prajurit sagelar sepapan yang berasal dari arah yang lain, namun tampaknya bertujuan ke arah yang sama dengan yang dituju Wisrawa. Sebagai seorang yang berjalan sendirian, Wisrawa memilih menghentikan lari kudanya,  untuk memberikan jalan kepada iring-iringan prajurit sagelar sepapan yang lengkap dengan segala macam bendera dan tanda kebesaran negaranya itu, Wisrawa menepi ke pinggir jalan, sambil matanya mengawasi iring-iringan prajurit yang semakin dekat berjalan ke arahya. Dalam hati Wusrawa bertanya-tanya, ma uke manakah rombongan prajurit itu dan dari negara mana mereka berasal? Namun, karena Wisrawa ingat dengan niat semula bahwa dia mengemban tugas untuk melamarkan anaknya, pertanyaan dalam hatinya itu sengaja disisihkan dulu, karena di samping asal dan tujuan rombongan prajurit itu bukan urusannya, dia juga tidak ingin pertanyaan-pertanyaan dalam hatinya itu mengganggu tujuan untuk menikahkan anaknya dengan puteri di negeri Langka itu. Maka Wisrawa telah berniat untuk mendiamkan saja rombongan itu lewat dan kalau perlu dia akan mencari jalan lain yang menuju Langka jika ditengarai rombongan itu bisa memperlambat perjalanannya.

 

Namun Wisrawa menjadi agak terkejut dan merasa heran,  tiba-tiba rombongan prajurit sagelar sepapan itu mendadak berhenti. Jarak antara tempat Wisrawa berhenti dengan rombongan prajurit itu kira-kira dua puluh langkah. Dari sebuah kereta kencana yang ditarik oleh delapan ekor kuda, seorang yang mengenakan busana layaknya seorang raja turun. Tanpa diikuti seorang pengawalpun, raja yang baru keluar dari kereta kencana itu berjalan sambil terbungkuk-bungkuk mendekati Wisrawa yang masih duduk di punggung kudanya.

“Hamba menghaturkan sembah Pukulun” ketika kira-kira jarak antara Resi Wisrawa dengan raja yang baru turun dari kereta itu sepuluh langkah, raja itu menjatuhkan diri berlutut sambil menyembah kepada Wisrawa.

 

Tentu saja Wusrawa menjadi terkejut dan terheran-heran dibuatnya. Wisrawa sama sekali belum mengenal raja itu dan tentu saja Wisrawa juga tidak tahu apa maksud dari raja itu sehingga menghaturkan sembah padanya, seperti seorang punggawa yang sedang menghadap di depan rajanya.

 

“Maaf Sang Prabu” sahut Wisrawa menanggapi orang yang menyembahnya itu “kusebut ndika itu Sang Prabu, karena menilik busana yang ndika kenakan, ndika itu adalah seorang raja. Dari negeri manakah dan siapa sebutan Sang Prabu ini?”.

 

“Ampun Pukulun meski hamba tahu bahwa pertanyaan pukulun ini tak ubahnya seperti cangkriman, namun hamba sungguh dengan senang hati akan menjawab cangkriman paduka” raja itu menjawab sambil menyembah “hamba ini Gardapati, pemimpin kerajaan Gardapura yang berupa kumpulan pulau-pulau kecil di seberang laut utara itu, sekali lagi perkenankanlah hamba mengahaturkan sembah pada Pukulun. Hamba sungguh merasa beruntung, setelah melihat sinar teja yang memancar dari tubuh Pukulun, hamba tahu Pukulun adalah Dewa dari Kahyangan yang turun ke bumi”.

 

“Anda keliru Sang Prabu” jawab Wisrawa setelah dia tahu kalau raja yang ternyata bernama Gardapati itu telah salah sangka padanya, mengira kalau dia adalah Dewa dari Kahyangan “aku tidak seperti yang Anda sangka. Aku hanyalah titah wantah,  manusia biasa, namaku Wisrawa seorang petapa di Girijembangan. Jadi silakan Sang Prabu berdiri dan jangan bersikap seperti itu padauk, karena aku sungguh bukan Dewa seperti yang Anda sangka”.

 

Prabu Gardapati menengadahkan wajahnya, memandang ke arah Resi Wisrawa, diamatinya wajah Brahmana yang teramat tampan itu dengan sungguh-sungguh.

 

“Jadi benar Anda bukan seorang Dewa Sang Resi?” dengan agak ragu Prabu Gardapati bertanya “sungguh tak menyangka di dunia ini ada manusia yang memancarkan cahaya yang teramat indah dan penuh wibawa, seperti Anda ini. Maka meskipun Anda mengatakan bahwa Anda hanyalah titah sawantah, namun aku berkeyakinan kalau Anda adalah titisan Dewa Yang Mulia, maka tolonglah diriku ini wahai Sang Resi Wisrawa, berkatilah diri ini agar kepergianku dari Gardapura tidak sia-sia dan kelak kepulanganku bisa membawa hasil yang gemilang seperti yang aku harapkan”.

Wisrawa mengernyitkan dahinya, dia belum mengerti maksud dari perkataan Prabu Gardapati yang minta agar diberkati agar berhasil apa yang diharapkan itu.

 

“Apa yang Anda maksudkan Sang Prabu?” akhirnya Wisrawa bertanya “Anda telah keluar meninggalkan negara Anda di Gardapura, Anda hendak pergi ke mana? Dan apa yang Anda cari dalam perjalanan Anda sampai menyeberangi laut ini?”.

 

 

bersambung

 

 

 

Selasa, 27 September 2022

SASTRA JENDRA YUNINGRAT PANGRUWATING DIYU (001)



 01.

Maharsi Wisrawa berkali-kali mengernyitkan dahinya, Brahmana itu merasakan ada keanehan yang menyelimuti wajah dan sikap puteranya yang kini sudah menjadi Raja, menggantikan kedudukannya di Negeri Lokapala itu. Semenjak dia datang mengunjungi si anak tunggal yang sudah menginjak dewasa itu, sikap dan sambutan yang diterimanya terasa amat dingin, cenderung kaku. Tidak seperti biasanya, Danaraja yang biasanya berwajah ceria, penuh senyum dan sangat ramah pada siapapun itu, tampak bermuram durja, bibirnya terkatup rapat, dan ketika diajak bicara hanya menjawab satu dua patah kata saja, itupun terdengar seperti dipaksakan ketika mengucapkannya. Sebagai orang tua, Wisrawa merasakan timbul rasa khawatir di hatinya, khawatir kalua telah terjadi apa-apa pada anak tunggalnya, khawatir kalau perubahan pada Danaraja itu sampai mempengaruhi kinerjanya sebagai raja sehingga perhatian terhadap rakyatnya menjadi berkurang bahkan hilang, yang bisa mengakibatkan kehidupan rakyat di negeri Lokapala yang selama ini sudah hidup dalam keadaan aman tenteram dan tercukupi sandang pangan dan papannya berubah menjadi kurang baik.  Tidak ingin anaknya dan negeri Lokapala jatuh dalam penderitaan, Wisrawa segera bertindak, ingin mengembalikan keadaan anaknya kepada kebiasaan yang baik.

 

“Anakku” Wisrawa mencoba mengajak anaknya berbicara “apa yang telah terjadi sehingga ayah rasakan ada perubahan dalam dirimu? Apa yang telah membuatmu gundah gulana? Apakah dirimu menerima tantangan perang dari negara lain yang ingin menaklukkan dan menjajah negara Lokapala? Atau mungkin ada punggawa negeri yang mau mbalela dan ingin merebut kekuasaan dari tanganmu? Ataukah ada sentana yang sulit diatur dan menyusun kekuatan untuk membuat pemerintahan tandingan?.  Katakan kepada Ayah, meski ayah sudah menjadi Pendeta namun Ayah tetap tak akan tinggal diam apabila negeri ini mendapat ancaman dan dalam keadaan bahaya. Katakanlah anakku, janganlah dirimu ragu”.

 

“Ampun Ayahanda” setelah berkali-kali menghela napas panjang Danaraja menjawab perkataan Wisrawa, ayahnya “janganlah Ayahanda khawatir, karena yang Ayahanda katakana itu semua tidak pernah ada. Negara tetangga mustahil berani memusihi negeri kita, mereka sudah faham dengan kekuatan Angkatan perang Lokapala yang boleh disebut menduduki tempat teratas disbanding dengan negara-negara tetangga, maka seluruh raja di negara tetangga justru ingin tetap menjadikan kita sebagai mitra yang selalu siap untuk memberikan bantuan apabila negara mereka terancam. Punggawa dan sentana di Lokapalapun semuanya tidak ada yang merasa kecewa pada Ananda sebagai raja mereka, karena mereka tahu dan sadar bahwa meski kedudukan Ananda adalah raja namun tugas dan kewajiban Ananda sama seperti mereka juga, yakni mewujudkan rakyat dan negara Lokapala menjadi negeri yang aman tenteram dalam kemakmuran”.

 

“Sokurlah kalau memang begitu Anakku” sahut Wisrawa sambil tersenyum, ada sedikit rasa bangga di hatinya, didikan yang diberikan kepada anaknya telah dijalankan dengan baik dan benar “namun, sebagai orang tua Ayah tahu kalau saat ini hatimu lagi gundah gulana, dan itu sangat tidak baik kalau tidak segera diatasi, bisa mengganggu kinerjamu dalam menjalankan tugas pengabdian kepada negara dan rakyat Lokapala. Sekarang katakana pada Ayah, apa yang telah membuat hatimu gundah ? apa yang telah membuat  jiwamu seolah resah?”.

 

“Sebenarnya agak malu rasanya hati ini untuk berterus terang Ayahanda” sambil tersenyum kecut Danaraja menjawab pertanyaan Wisrawa “karena ini urusan yang sangat pribadi Ananda, Ananda ingin menikahi seorang gadis, namun Ananda ragu apakah cinta Ananda bisa diterima oleh gadis itu? Karena gadis itu puteri dari seorang Raja di sebuah negara yang teramat besar, negara yang kaya dan kuat yang didukung oleh laksaan bahkan kethian prajurit yang memiliki kesaktian luar biasa. Meskipun Ananda tak akan gentar seandainya harus berhadapan sebagai lawan dengan raja dan prajurit negara itu, namun Ananda tidak ingin membawa rakyat dan prajurit Lokapala ke medan perang hanya karena keinginan pribadi Ananda sendiri, maka sebenarnya kegundahan Ananda ini hanyalah karena memikirkan cara apa yang harus Ananda tempuh agar bisa menikahi gadis itu tanpa melalui cara-cara kekerasan yang bisa menyengsarakan rakyat di kedua negara”.

 

Wisrawa mengangguk-anggukkan kepalanya, jawaban dari Danaraja itu menunjukkan kemuliaan hati seorang raja sekaligus menunjukkan kepengecutan jiwa anaknya yang dihinggapi rasa ragu yang berlebihan. Kemuliaan hati Danaraja terbukti, dia tidak ingin melibatkan rakyat dan prajuritnya untuk mengejar keinginan pribadinya, sementara itu Danaraja yang merupakan  seorang pemuda berwajah tampan dan berkedudukan tinggi namun memiliki hati yang kecil, sehingga meragukan kelebihan yang ada padanya sehingga masih merasa sungkan untuk melamar seorang gadis, meskipun gadis itu putera raja juga.

 

“Anakku” akhirnya Wisrawa berkata dengan nada lembut “dirimu itu dianugerahi Dewa wajah yang tampan, tubuh yang bagus, kekayaan yang cukup dan kedudukan yang mulia sebagai raja. Menurut nalar yang wajar, tentu banyak gadis yang akan merasa tersanjung apabila kau kehendaki menjadi istrimu, namun ternyata engkau masih ragu dan ada rasa cemas kalau sampai lamaranmu ditolak oleh gadis pujaan hatimu itu, sekarang Ayah perlu tahu siapakah nama gadis itu? Siapa pula ayahnya yang katamu tadi seorang raja di negara besar yang memiliki berkethi-kethi prajurit yang sakti itu?”.

 

“Benar Ayahanda” sahur Danaraja dengan hormatnya “gadis yang Ananda cintai itu bukan gadis yang sembarangan, sudah puluhan raja yang datang melamar namun pulang dengan tangan hampa, karena ditolak. Bahkan tidak sedikit raja-raja yang pulang ke negaranya hanya tinggal nama, karena mencoba menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya yang akhirnya terbunuh oleh senapati negeri tempat gadis itu berada. Dia lah Dewi Sukesi, puteri negeri Alengka putera Prabu Sumali Raja besar yang berwajah raksasa, namun puterinya memiliki kecantikan yang melebihi bidadari di Kahyangan Suralaya”.

 

Tiba-tiba Wisrawa tertawa ceria, didekatinya anak tunggaknya itu lalu ditepuk-tepuk pundaknya dengan penuh kasih saying.

 

“Dirimu benar anakku” kata Wisrawa disela-sela ketawanya “Negara Alengka atau negara Langka memang negara yang besar dan kuat, Angkatan perangnya sangat disegani oleh negara manapun, bahkan dahulu pernah terjadi kekuatan pasukan negara itu hamper saja menggoyahkan kewibawaan Kahyangan Sang Hyang Indra yakni waktu negeri Langka dipimpin Prabu Banjaranjali, kakek Prabu Sumali yang sekarang berkuasa…….”.

 

“Sedemikian hebatnya Ayahanda?” Danaraja memotong perkataan Wisrawa “prajurit Langka berani melawan para Jawata? Apakah mereka itu keturunan Iblis sehingga berani melawan Dewa?”.

 

“Mereka itu sebenarnya juga keturunan Dewa anakku, yakni keturunan Sang Hyang Bathara Sambo, namun karena setelah diturinkan di Marcapada banyak kena pengaruh pemikiran bangsa raksasa akhirnya mereka menjadi liar. Namun, justeru karena gadis yang kau dambakan itu Dewi Sukesi putera Prabu Sumali, maka Ayahmu menjadi senang mendengarnya. Ibaratnya sulit meraih buah ranti daripada menjadikan Sukesi sebagai istrimu anakku” Kata Wisrawa sambil tersenyum senang.

 

“Apa maksudnya dengan kalimat yang Ayahanda sampaikan itu?” Danaraja bertanya heran, ayahnya begitu mudah mengatakan bahwa untuk menjadikan Sukesi menjadi istrinya.

 

“Maksudnya, keinginanmu akan segera terlaksana” jawab Wisrawa sambil terus tersenyum “sekarang bergembiralah, ayah mau dating ke Negeri Langka, menemui Prabu Sumali meminta persetujuannya membawa pulang Dewi Sukesi untuk menjadi istrimu”.

 

Danaraja memandang wajah ayahnya dalam-dalam, sulit rasanya mempercayai omongan ayahnya yang sudah menjadi Pendheta dan selamanya tak pernah bicara dusta itu.

 

 

bersambung

 

 

Senin, 19 September 2022

SENDHANG MUSTIKANING WARIH VI (100)


 

100.

Bareng karo rampunge Kang mBok Setyawati guneman ngandhakne yen olehe Guru lan aku kepuser dening banyune sendhang sing kena sawabe walat sing dipasang dening Bagindha Kilir utawa Sang Bathara Ijo, merga ya mung awit ngundhuh panyakrabawa sing ala kuwi, dumadakan saka dhuwur katon tumiyub pawongan sing busanane sarwa ijo banjur ngadeg ora adoh saka papane Kang mBok Setyawati. Padha karo kahanane Ratu Pangayoman, paraga sing lagi teka kuwi uga ancik-ancik banyu ing lumahing sendhang nanging kaya wong ngadeg neng lemah lumrah. Weruh tekane wong sing nganggo sandhangan sarwa ijo kuwi, Ratu Katentreman banjur lungguh jengkeng neng ora nglaih saka papane, katon yen kurmat banget marang wong sing lagi teka kuwi.  

 

Wong sing lagi teka kuwi nduweni praupan sing resik bening, pakulitane kuning, umur-umurane kira-kira rada sethithik luwih akeh tinimbangane aku, dhasare ngono wong kuwi duwe rupa sing keneng diarani bagus, ngingu brengos sing rada tipis, ngingu jenggot sing ora pati dawa, nambahi manise. Busana rupa ijo sing dienggo wujud jubah lan sorban, nganggo selop sing rupane uga ijo.

 

“Ngaturaken kasugengan sarawuhipun Bagindha” Kang mBok Ratu mbagekne wong sing lagi teka kuwi, yen nitik panganggone sarta olehe Ratu Katentreman nyebut marang wong kuwi nganggo sebutan Bagindha, aku bisa mesthekne yen sing lagi teka kuwi sing jeneng Sang Hyang Wilis utawa Bagindha Kilir “Bekti kula katur”

 

“Oleh pamuji ndika rahayu tekaku ing kene Kanjeng Ratu” wangsulane Bathara Ijo karo mesem “Kanjeng Ratu ngaturake bekti wis tak tampa kanthi senenging atiku, ya taklimku wae tumrapa marang ndika”.

 

“Ngaturaken genging panuwun Pukulun” Kang mBok Ratu semaur karo manthuk kurmat “samangke kaparenga pun patik nyuwun dhawuh”.

 

“Kanjeng Ratu” Bathara Ijo guneman karo ulat sing sumeh “durung wancine Kanjeng Ratu nampa ngelmu saka ulun sawise Kanjeng Ratu ngunjuk Tirta Rasa Kundha peparing ulun nalika samana. Tekaku iki mau temene mung merga panguwuhe banyu sendhang iki sing nyuwun palilah nyirnakne titah sing abudi candhala sing wis wani nggebyur ing sendhang iki kanthi nggawa sedya sing ora prayoga marang sing kajibah njaga katentremaning sendhang. Mula gegancangan aku lumawat mrene, sing ana jebul Raden Kala Canthuka lan Raden Bagus Suwanda sing lagi diperes tenagane dening banyuning sendhang, mula tumuli ulun tulungi jalaran durung trep karo kaluputane yen kongsi priyayi loro kuwi sirna merga pangamuke banyu sendhang iki. Lan kang luwih baku maneh, Gusti isih paring wektu marang priyayi loro kuwi kanggo ndandani uripe sarta nebus kabeh kaluputane, mbok menawa priyayi loro kuwi isih duwe pangarep-arep bali ing dalan sing jumbuh karo piwulangE. Wis mangsa bodhowa anggon ndika nindakne kabar sing ulun gawa iki, ulun arep nerusne laku nindakne dhawuhE”.

 

Rampung olehe guneman, let sagebyaring that-thit, Bathara Ijo wis ora katon, ilang saka pandululuku. Kang mBok Setyawati katon kaya nguntabne lungane paraga kang busana sarwa ijo kuwi mau.

 

“Raden Kala Canthuka lan ndika Raden Bagus Suwanda” sawuse rada sauntara saka ilange Sang Bathara Ijo Kang mBok Setyawati guneman marang Guru lan aku “tak kira ora ana gunane ndedawa gunem sing tanpa guna antarane ndika lan aku. Dhawuh pangandika saka Panjenengane Sang Bagindha Kilir wis cetha, Gusti Sing Maha Agung isih kepareng paring kalodhangan marang ndika sakloron kanggo ndandani urip. Mula klawan kekuwatan sing tak gadhuh saka Kang Maha Agung, ndika sakloron arep tak selehake ana papan sing mbok menawa ing papan kuwi ndika bisa eling marang piwulangE. Sing baku ndika sakloron uga kudu sumurup, ing papan kanggo nyelehake raga ndika kono mengko, mbuh pirang atus tahun lawase ndika sakloron bakal nandhang lumpuh tanpa kekuwatan lan bisa bali pulih lamun ndika wis padha ngrumangsani ing kaluputan ndika kanthi nindakne laku panebusaning dosa sarana ngakehne tumindak sing migunani tumrap titah liya. Marang Dhimas Suwanda, tak wenehi weruh ing mbesuk manawa ana titah sing mbutuhake pitulungan marang ndika, kamangka ndika rumangsa ora bisa aweh pitulungan mangka tuduhna titah-titah kuwi supaya menyang Sendhang Pangayoman kene, wis cukup semene wae, saiki ndika bakal tak untabne menyang papan ndika sing anyar”.

 

Bubar Kang mBok Setyawati guneman ngono kuwi dumadakan kahanan dadi peteng dhetdhet, kasusul bledheg mangampar-ampar sing ngetutne tumibane udan sing kaya diperes saka langit lan nuwuhake banjir sing gedhene ora karuwan ngerem papan kono kabeh. Aku lan Guru sing ora bisa apa-apa, digawa ilining banjir. Mung eloking kahanan, Guru keseret banyu mangetan parane, dene aku keseret ilining banjir mangalor. Aku karo Guru dipisahne dening pangamuking banyu banjir

 

Embuh nganti pirang dina aku kemampul katut banjir, wasana  aku tekan papan sing saiki tak panggoni iki. Ya ing papan kuwi aku wiwit krasa yen satemene aku wis salin wujud, wis dadi titah sing awujud titah maya, utawa yen wong ngarani aku iki wis dadi bangsa prayangan. . Ing papan kono aku wiwit ngrumangsani kabeh dosa lan kaluputan sing tau tak tindakne, iya dosa marang Hyang Agung, iya dosa marang sapepadhaning titah. Temah mbaka sethithik kekuwatanku wiwit mrambat arep pulih.

 

“Estunipun dereng rampung cariyosipun mBah Tambak dhateng Ki Sarkara Adhi” kandhane Pradapa sawuse suwe kojah nyritakne lelakone mBah Tambak sing ditemoni wong tuwane nalika keplayu saka laladan kutha Pajang “nanging, gandheng sampun sawatawis kathah anggen kula wicanten, kamangka wekdalipun ugi sampun nyaketi gantos ari, menawi Adhi Rangga miwah Adhi Marga marengaken kula badhe kendel sakedhap, mangke utawi benjing badhe kula lajengaken malih”.

 

“He he he he……” Rangga ngguyu “satemene sing ndika critakne kuwi nengsemake banget Kakang Pradapa, lan aku uga kepengin ngerti lakone Raden Bagus Suwanda sawise manggon neng Sendhang Tambak kanthi wujud titah maya kuwi kepriye? Lan banjur sambung rapete pusaka ndika sing arep ndika larung neng Sendhang Ngiyom kuwi apa? Lan maneh aku uga kepengi ngerti crita mula bukane ndika padha memungsuhan karo Lurah Danara sakancane kae mau. Nanging aku uga ngerti yen satemene kahanan ndika iki isih durung pulih, sanadyan tatu tilas kudhi sing tumancep neng lempeng ndika kuwi wis mari merga ditambani adhiku Si Marga. Nanging luwih prayoga awake dhewe leren dhisik, mengko utawa yen wis ilang kesele bisa ditutugne nggon ndika crita”.

 

“Inggih Adhi. Matur nuwun sanget” wangsulane Pradapa kurmat.

 

Sauntara wong sing ana papan kuwi padha meneng, angin wengi wiwit sumilir atis. Nekakne rasa ngantuk ing mripate tanggon sakancane. Ora krasa andhahane Bagus Pradapa kuwi padha keturon. Nusul Pradapa sing uga wis ndhisiki turu.

 

“Rumangsaku critane Pradapa kuwi ya lumrah wae ki Kakang?” kandhane Marga marang sedulure angkat, alon-alon, sajake kuwatir yen mbrebegi sing lagi padha turu.

 

“Aku ya ngarani ngono Dhi” wangsulane Rangga karo ngguyu “nanging ing sela-selaning wektu sing ora kanggo nandangi gaweyan utawa nggagas sing ana paedahe, tak kira ya becik wae nyemak crita sing katone rada ngayawara iki”.

“Bener Kakang” wangsulane Marga karo ngimbangi mesem “ya muga-muga wae, Pradapa enggal pulih bayu anggane, kareben olehe crita luwih krasa lan kepenak disemak”.

 

 

SIGEG.

 

Cariyosipun Raden Rangga ingkang ngumbara dhateng laladan Ngawi menika taksih panjang, nanging gandheng menawi saben dinten namung nyemak criyos modhel makaten menika saged ndadosaken bosen. Inggih awit saking menika, kangge sawatawis wekdal cariyosipun Raden Rangga lan Marga dipun sigeg rumiyin. Benjing-benjing menawi wonten ingkang ngersakaken murih dipun lajengaken, saged dipun aturaken malih.

 

Tebah siti sekul biuntel roning kalapa, apuranta awit kathahing lepat ing seratan kula. Nuwun.

 

Kedunggalar, 19 September 2022.

 

Taklim kula

 

 

Rust Luh Getih.

Sabtu, 17 September 2022

SENDHANG MUSTIKANING WARIH VI (099)


99.

Guru ndhisiki mlumpat ambyur menyang jero sendhang, bablas slulup mendhasar, aku ora sranta uga banjur nututi ambyur lan slulup. Nanging aneh, banyu sendhang sing mau katon anteng ora obah kajaba mung ing lumahe sing lerap-lerap nurut lakune angin sing semribit kuwi, jebul ing sisih ngisor munyer seser banget. Ragaku katut puseraning banyu temah kangelan anggonku bisa ndhasar nututi Guru. Nganti sawatara suwene aku ora bisa polah kajaba mung nuruti mubenge banyu sing sansaya suwe sansaya krasa atis kuwi. Jroning batin aku nggagas, jebul sing diwedeni Guru mau dadi kanyatan, mung bedane mau Guru ngendika mbok menawa ing jerone sendhang akeh buron banyu sing mawa wisa sing bisa gawe patiku, jebul sing tak temoni dudu kaya apa sing dingendikaskne Guru mau, nanging malah wujud obahe banyu sing menyer seser ngungkuli kitiran, nggulung raga sing ora bisa tak lawan babar pisan. Kajaba muser kaya uwer, banyu sing nggulung awakku kuwi uga ora manggon, nanging mubeng ngubengi ambane sendhang sing kira-kira ana rong pulugh dhepa mubeng, ndadekne sansaya suwe aku dadi sansaya lemes, jalaran kangelan nggonku arep ambegan. Jroning cipta aku wis ngira, yen dina kuwi dina pungkasan ngonku urip ana jagad padhang. Lan aku ora ngerti bakal menyang ngendi parane suksmaku mengko, anjog menyang dhasaring neraka utawa Kahyangane Sang Hyang Yama apa bisa katarima nggayuh Nirwana, utawa malah kesasar laku nglambrang inga lam antara. Aku ora kuwawa mbacutake nggonku mikir, awit anane mung rasa wedi lan miri sora cetha apa sing tak wedeni. Lan bareng sansaya angel nggonku ambegan, wekasan aku banjur ora eling apa-apa maneh.

 

Aku lagi eling sawuse krungu suwara anggunge manuk sing sesautan rame, ana suwarane manuk Podhang, ana suwarane manuk Jalak, Genthilang lan manuk liyane sing nyenggaki anggunge manuk Drekuku sing unine ajeg. Alon-alon lan aku mbukak mripat, jebul wektu kuwi aku wis gumlethak ing perangan gisiking sendhang sing ora adoh saka kono katon leberaning banyu sendhang mili dadi kali cilik sing suwarane kumricik. Otot bayuku kaya dilolosi rasane, aku banjur nyoba tangi saka nggonku gumlethak, lungguh. Sepira kagetku bareng aku wis lungguh, aku weruh sesawangan sing uga nrenyuhake liyane. Guruku, Raden Kala Canthuka, katon ngglethak neng wedhen gisik sendhang, kanthi busana sarta rikmane dadi awut-awutan ora karuwan.

 

“nDika isih urip Gus Wanda?” isih karo ngglethak, Guru ndangu aku nalika aku nyoba nyedhaki papane “pangiraku kleru, dudu buron banyu  mawa wisa sing ngadhang laku, jebul malah awake dhewe iki mau lagi wae kena siku dhendhane sing momong banyu”.

 

“Ingkang momong banyu Guru?” aku matur nyuwun pirsa jalaran akum au ora weruh sapa-sapa kajaba mung banyu muser sing dadi uwer “menapa menika  taksih sapukawatipun Kang mBok Ratu Setyawati?”.

 

“Heh..heh…heh….” nadyan ngrekasa Guru meksa ngguyu banjur wangsulan “dudu!. Malah nek ora kleru kuwi kena diarani Gurune Setyawati sing anyar dhewe, merga durung suwe nggone Setyawati wanuh karo Pamonging Banyu sing tak kandhakne kuwi, nanging katone Setyawati kasengsem karo apa-apa sing dikandhakne wong kuwi. Nek aku satemene wis rada suwe nggonku tepung, ya iku nalika aku isih manggon neng Candhi Gunung Kumitir, nanging gandheng aku ora sudi nggugu kabeh sing dikandhakne wekasane wong kuwi banjur lunga ninggalne aku, kepethuk-kepethuk ya mbarengi awake dhewe nggebyur menyang sendhang mau”.

 

“Sinten menika Guru?” aku nyuwun pirsa maneh.

 

“Wong Jawa yen ngarani jenenge Sang Hyang Wilis, utawa Bathara Ijo”isih karo ngglethak Guru paring wangsulan “merga wong kuwi sandhangane ajeg nganggo jubah warna ijo, nanging gandheng wong kuwi mau duwe watak seneng niru pakulinane bangsa Ngarab, dheweke luwih seneng diarani Bagindha Kilir sing tegese uga Ijo” .

 

Aku banjur meneng, ora wani matur maneh, merga aku durung mudheng karo sing dingendikakne Guru iki mau. Selawase urip, aku krungu jeneng Sang Hyang Wilis, utawa Bathara Ijo utawa Bagindha Kilir ya lagi iki, luwih-luwih Guru wis ngarani nek ana paraga sing dadi Pamonge Banyu barang, aku dadi sansaya ora mudheng maneh. Malah aku banjur ngira, mbok menawa awit saking sayahe dipuser dening ulekaning uwer mau, ndadekne Guru kumat gerah engetane, mula aku banjur ora guneman apa-apa.  

 

“Ora sah ndadak mbok kira merga uwer sing muser lan nggulung ragaku omonganku dadi kaya ngene iki Gus” bareng rada suwe aku meneng, Guru ngendika karo suwara sing rada sengak “merga dhasare pancen aku iki wis suwe dadi wong edan”.

 

Aku kaget, Guru pirsa karo sing lagi tak gagas.

 

“Nyuwun pangapunten Guru” aku tumuli nyuwun pangapura.

 

“Ora sah ndadak njaluk wis wiwit mau pangapuraku wis tak wenehne ndika” wangsulane Guru maneh “saiki aku wis ora bisa tangi, embuh nganti mbesuk kapan aku ora ngerti, saiki nek ndika isih bisa mlaku, tumuli ndika tinggalne papan kene, ndika buwang wae angen-angen ndika arep ngrabi Setyawati, merga mesthi ora bakal kelakone. Nek ndika ora enggalk-enggal lunga saka kene, bisa-bisa dhemit-dhemit wadya balane Setyawati sing nunggu Sendhang iki banjur padha mara, mengko ndika bisa dadi cilaka”.

 

Krungu dhawuhe Guru ngono kuwi, awakku sing dhasare wis lemes dadi sansaya lemes, sethithik kekuwatan sing mau wiwit ana, temah aku bisa tangi lan nyaketi Guru, mbalik ilang maneh, nalika tak coba arep tak enggo ngadeg, aku wis ora bisa. Aku bali lungguh ndheprok neng sisihe Guru sing ngglethak ora bisa obah. Aku rumangsa wis ora duwe pangarep-arep maneh kanggo nutugne urip, aku wis ora duwe sapa-sapa maneh sing bisa tak sambat sebuti, Guru wis ngendika nek wis ora kagungan daya kekuwatan maneh, malah arep tangi saka anggone ngglethak wae wis ora bisa, nek saiki aku didhawuhi lunga, banjur akua rep lunga menyang ngendi?. Sing luwih nglarani ati maneh, ya iku dhawuhe Guru sing ngandhakne yen aku ora bakal klakon bisa urip bebarengan karo Kang mBok Ratu Setyawati . Apa aku bisa nglalekne rasa tresna lan kayungyunku marang Kang mBok Ratu? Apa bakal klakon aku dadi gendheng kaya Guru?.

 

Dumadakan aku dikagetne dening anane cahya ijo sing tumiyup saka langit, pas ana tengah-tengahe Sendhang. Lan nalika cahya ijo kuwi ilang, katon ing dhuwure banyu Kang mBok Setyawati ngadeg, kaya mancik ing dharatan wae. Cahyane katon luwih sumunar, ayune tansaya wuwuh, luwih-luwih nalika Kang mBok nyilakne jarit sing dienggo sajak samar yen nganti teles kena banyune sendhang, katon kentol sing nglabu dawa (kaya labu ning dawa – rust) ndadekne atiku kumesar ora karu-karuwan.

 

“Saiki wis cetha Kala Canthuka” dumadakan Kang mBok Ratu guneman rada banter “yak enteni nganti jingglengen neng sitinggil kraton Katentreman, ndika ora teka, kanthi mangkono aku dadi weruh sapa sejatine sing wis ngumbar ujar lamis, sapa sejatine sing gunemane ora kena dipercaya”.

 

“Ratu, aku njaluk pangapuramu, aku ngakoni luput” karo panggah ngglethak merga ora kuwat obah, Guru aweh wangsulan “nanging ndika aja banjur selak yen uga wis tumindak cidra kanthi mapanake walate Sang Hyang Wilis ana sajerone Semdhang, temah aku lan Gus Wanda dadi kaya mangkene kahanane, upama ndika ora pasang walate Bathara Ijo ing jero Sendhang sing ndika arani Sendhang Pangayoman kuwi, mesthi aku wis bisa mbuktekne yen sing tak kandhakne ora kabeh dora, ora kabeh ora jumbuh karo tulisan ing jero atiku lan kosok baline, aku mesthi bisa meruhi yen embuh akeh embuh sethithik mesthi ana guneman ndika sing ora tulus kaya ucaping ati ndika……”.

 

“Kala Canthuka” Kang mBok Setyawati wangsulan karo mesem sajak ngece “sing pasang walat kuwi dudu aku, nanging Panjenengane Sang Bagindha Kilir, anane ndika bisa kena walat merga ndika nduweni ati sing ora resik, ndika mesthi wis nyujanani nek aku arep gawe cilaka ndika lan para rowang ndika ing jero sendhang iki, ya awit pangira ndika sing mangkono mau sing ndadekne ndika kena walat, upama ndika ora kegedhen rasa sujana lan nduweni pandakwa ala marang aku lan iya marang sapa wae, mangka walat sing diselehne Sang Bagindha Kilir ing jero sendhang kuwi ora bakal ndadekne cilaka”.

 

 

Ana candhake.

 

SENDHANG MUSTIKANING WARIH 8. (52)

  52.         Tiyang-tiyang ingkang wonten ing Pringgitan sampun boten kaget malih mireng wicantenipun Bebau Sumber makaten menika. Sadaya s...